Menu
Menu

Dalam “Arah Langkah” dan “Tapak Jejak”, media sosial menjadi kekuatan yang sangat diandalkan untuk berpapasan dengan orang baru.


Oleh: Erik Jumpar |

Tinggal di Manggarai Timur. Sedang serius memelihara babi, sembari membesarkan Tabeite.com bersama anak muda Manggarai Timur yang memiliki semangat yang sama.


Pengalaman jatuh cinta dengan “Arah Langkah” dan “Tapak Jejak”, dua buku Fiersa Besari diawali dengan banyaknya akun media sosial yang membagikan setiap catatan yang ia tulis.

Setelah ditelusuri lebih jauh di mesin pencari, Fiersa yang berasal dari Kota Bandung itu memiliki aneka karya yang patut diacungi jempol. Tidak hanya sebagai penulis, ia juga sebagai pendaki, musikus, dan konten kreator.

Demi menjawab teka-teki yang berseliweran di kepala tentangnya, saya pun memesan dua dari enam buku yang telah ia tulis, melalui seorang teman di Surabaya. Dua buku terbaik menurut saya yang ditulis oleh Fiersa kemudian saya pilih: Arah Langkah dan Tapak Jejak—sekuel dari Arah Langkah, isinya mengupas dengan baik tentang petualangannya saat menyusuri Ibu Pertiwi. Sementara empat buku lainnya, Garis Waktu, Konspirasi Alam Semesta, Catatan Juang, dan 11:11, belum sempat saya baca. Saya berharap, perpustakaan Klub Buku Petra dalam waktu dekat menambah koleksi buku Fiersa Besari. Kelak, dengan senang hati saya akan meminjam dan melahap isinya.

Motif Bertualang yang Berbeda

Pada bulan April 2013, berkat itikad dan komitmen bersama, tiga pengelana muda tanah air memilih untuk angkat kaki dari tanah kelahiran mereka. Perjalanan yang didasari dengan motif yang berbeda, tetapi berita baiknya mereka memilih untuk menanggalkan ego demi melihat sisi lain Indonesia.

Dengan semangat yang sama meskipun dengan motif bertualang yang berbeda tadi, mereka mencoba menemukan cerita perjalanan yang sebelumnya tak pernah mereka temui dalam keseharian mereka. Fiersa, dengan dalih patah hati, memilih untuk lari dari kenyataan dengan berkelana. Bermodalkan tabungan seadanya juga peralatan musik di studio miliknya yang dijual, Fiersa memulai petualangan bersama dua pengelana lainnya.

Meski dengan berat hati, ibunda Fiersa merestui perjalanan sang anak. Fiersa  pun berangkat dari rumah dengan segudang perasaan sakit hati yang masih tertahan. Beruntung ia menemukan dua teman sesama pengelana, Prem yang bernama asli Anisa Andini dan Baduy.

Dua teman yang menemani Fiersa memiliki keunikannya masing-masing. Bisa dibilang, mereka saling melengkapi.

Prem yang menampilkan perawakan tomboi namun dapat diandalkan dalam segala urusan petualangan. Ia memiliki jiwa petualang yang tidak perlu diragukan lagi. Rekam jejaknya dalam urusan bertualang patut diperhitungkan, masa SMA ia habiskan jua untuk menaklukkan puncak gunung di Pulau Jawa. Ide untuk mengelilingi Indonesia bersama rekan pengelana yang cocok pertama kali keluar dari lidah Prem usai bersama Fiersa mereka mendaki salah satu gunung di Pulau Jawa. Motif Prem bertualang demi melihat keindahan Indonesia sebelum dirinya disibukkan dengan dunia kerja. Prem baru saja wisuda saat memutuskan untuk mulai bertualang menyusuri Indonesia.

Sementara Baduy, lelaki asal Banten itu, sejak dulu memiliki impian untuk menginjakkan kakinya di pelosok Indonesia. Sayang ia belum berjumpa dengan orang-orang yang memiliki impian yang sama. Ia begitu antusias begitu mendengar rencana Fiersa dan Prem bertualang mengelilingi Indonesia. Baduy lebih mumpuni pengetahuannya tentang tempat terkeren di Indonesia yang bisa mereka datangi. Profesinya sebagai pengusaha tour and travel pemicunya, tempat terkeren di Indonesia tentu tak asing lagi dalam memorinya.

Semakin jauh menyelami Arah Langkah, saya menikmati narasi perjalanan yang semakin apik. Fiersa Besari dengan detail menjelaskan dari titik awal hingga di titik puncak perjalanannya; tentang senja, pantai yang indah, gunung-gunung yang mereka taklukkan, juga orang-orang baik yang mereka temui selama petualangan.

Tiga pengelana ini mulai melakukan petualangan perdananya di Lampung. Mereka tiba di sana sembari memikul segudang harapan dengan tujuan puncak dapat menginjakkan kaki di timur Indonesia. Tiga pengelana ini memanfaatkan media sosial sebagai metode untuk berjejaring dengan orang-orang baik saat tiba di tempat yang dituju. Bagi mereka, dengan memanfaatkan media sosial, mereka akan berpapasan dengan orang-orang baik yang rela menampung mereka sementara waktu. Biaya untuk bertualang pun dapat dipangkas, disimpan untuk dipakai saat menyusuri destinasi selanjutnya.

Tiba di Lampung, tiga pengelana ini dijemput oleh Dela Bertia, seorang gadis yang sebelumnya berkomunikasi dengan Fiersa Besari untuk bersua saat tiba di Lampung. Ia juga siap menampung mereka selama di Lampung. Tawaran dari Dela Bertia tidak disia-siakan, mereka dengan senang hati menyetujui ajakan untuk bertemu dan beristirahat di tempatnya sebelum melanjutkan petualangan ke tempat lain.

Sehabis bertualang dari Lampung, tiga pengelana ini melanjutkan perjalanan ke Kota Padang, Sumatera Barat. Tiba di kota yang disesaki oleh Rumah Gadang itu, mereka disambut oleh Ully, salah satu teman dari Baduy.

Semakin dalam menyelami Arah Langkah dan Tapak Jejak, baik saat di barat Indonesia sampai di timur Indonesia, tiga pengelana ini konsisten memakai pola yang sama saat berkunjung ke destinasi selanjutnya dengan mengiformasikan lewat media sosial. Dengan begitu, pengelana kere sekelas mereka diselamatkan oleh orang-orang baik yang mereka jumpai.

[nextpage title=”Berpapasan dengan Orang Baru”]

Dalam “Arah Langkah” dan “Tapak Jejak”, media sosial menjadi kekuatan yang sangat diandalkan untuk berpapasan dengan orang baru.

Orang-orang baik yang mereka temui dengan senang hati menawarkan tempatnya untuk dijadikan tumpangan. Ada cerita tentang ketulusan dalam melayani orang-orang yang datang dengan niat baik, ada cerita tentang keramahan orang-orang lokal dalam Arah Langkah dan Tapak Jejak, tentang melayani sesama tanpa melihat latar belakang yang berbeda, tentang hati yang tulus dalam melayani tanpa membutuhkan bayaran berupa fulus.

Melanjutkan perjalanan sampai di puncak ternyata tak mudah; kerikil tajam selalu menghujani kaki-kaki mereka. Meski di awal perjalanan mereka sepakat untuk sampai di ujung timur Indonesia, tetapi saat tiba di Manado, satu di antara mereka perlahan-lahan mulai kendor semangatnya.

Prem yang dari awal sangat ceria untuk bertualang, mulai murung akibat kantongnya mulai menipis. Dengan berat hati, ia memilih mengurungkan niat untuk melanjutkan petualangan. Ia pun mengajukan keberatannya pada Fiersa dan Baduy untuk melanjutkan berkelana. Ia memilih untuk pulang, berhenti untuk berkelana, kembali ke rumah, lalu mulai menenun cerita petualangan yang baru.

Setelah kepergian Prem, Fiersa sempat kendor juga semangatnya. Namun berbekal tekad yang masih tersisa, ia memilih untuk tetap melanjutkan perjalanan, begitu pula dengan Baduy. Berita buruknya, saat Fiersa dan Baduy saja yang bertualang justru menimbulkan jarak di antara mereka. Mereka jarang berkomunikasi. Baduy sibuk dengan menyelami laut Pulau Siladen, sementara Fiersa habiskan harinya di tepi pantai bersama teman-teman yang baru ia kenal. Perekat yang bernama Prem telah pergi, energi petualang mereka perlahan-lahan mulai berkurang.

Semakin ke timur mereka bertualang, semangat mereka semakin meredup. Baduy menjadi orang kedua yang memilih untuk pulang. Sehabis ia menyusuri bawah laut Pulau Siladen, Sulawesi Utara, ia mengutarakan niatnya untuk pulang. Ia memilih pulang karena sang ibu sedang sakit. Fiersa kembali termenung. Ia mempertanyakan semangat yang membara di awal mereka mulai berpetualang. Apa bisa dikata, Baduy masih ngotot untuk pulang. Fiersa pun tak bisa menahannya.

Dengan berat hati, selepas kepergian Baduy, Fiersa melanjutkan petualangannya sendirian. Orang baik yang berjumpa lewat media sosial menyelamatkan ia hingga tiba di Raja Ampat, tempat eksotis di timur Indonesia. Ia menemukan banyak hal dalam perjalanan, tentang orang-orang baik yang rela menolong sesama, tentang budaya Indonesia yang magis, tentang laut Indonesia yang kaya, juga tentang keadilan yang masih suram di pelosok Indonesia.

Di bagian akhir Tapak Jejak, Fiersa menulis tentang cinderamata yang ia bawa pulang ke rumah. Bukan hanya barang-barang yang memenuhi ransel, foto-foto yang memenuhi kameranya, tetapi  membuka cakrawala berpikirnya tentang orang-orang baik, orang-orang yang dengan senang hati membantu orang-orang yang tak mereka kenal sebelumnya, lalu dibukakan jalan untuk meneruskan langkah ke petualangan selanjutnya.

Usai saya bertualang dalam Arah Langkah dan Tapak Jejak, saya temukan makna perjalanan yang berarti. Tentang hal baik yang Fiersa jumpai di perjalanan tidak akan ia jumpai kalau ia terus-terusan hanyut dalam patah hati. Fiersa Besari hendak mempertegas kepada khalayak, tentang patah hati yang tak perlu membunuh rasa sampai tak dapat bangkit lagi. Fiersa hendak mengajarkan kita tentang jatuh tak selamanya tersungkur, pun lesap dari perjalanan hidup. Jatuh baginya pelajaran, tentang arah langkah demi meninggalkan tapak jejak sebelum lesap, untuk menemukan makna hidup yang lebih baik lagi dalam perjalanan hidup.

Dan, kalau sudah tiba di puncak, kita akan berhenti berlari, terima kenyataan, lalu pulang untuk melanjutkan hidup. Sebab, sejauh apa pun jalan yang kita tempuh, tujuan akhir selalu rumah. Begitu kutipan terbaik dari Fiersa Besari tentang perjalanannya setelah berkelana keliling Indonesia.(*)


Baca juga: Green Book: Drama Perjalanan untuk Saling Memahami di rubrik ULASAN.

Rubrik SAYA DAN BUKU disiapkan untuk siapa saja yang ingin berbagi pengalaman membaca. Kirim tulisan Anda ke redaksi@bacapetra.co.

Komentar Anda?