Menu
Menu

Nemu Buku di Palu dan Babasal Mombasa di Luwuk sama-sama bekerja untuk literasi.


Oleh: Maria Pankratia |

Tinggal di Ruteng. Mengelola Program untuk Yayasan Klub Buku Petra. Hadir pada Jejak Ketiga Festival Sastra Banggai 2019 di Luwuk.


Di SEKITAR KITA bulan ini, saya membagikan hasil obrolan saya dengan dua kurator Festival Sastra Banggai, Neni Muhidin dan Ama Achmad, yang saya jumpai pada bulan Juli lalu di Jejak Ketiga Festival yang diadakan di Luwuk.

Kami membicarakan banyak hal. Tentang geliat literasi di Sulawesi Tengah, khususnya di Kota Palu dan Kota Luwuk, serta persoalan-persoalan sosial yang mereka hadapi dalam kaitannya dengan gerakan membaca, menulis, juga mengapresiasi karya.

Berikut saya rangkum percakapan kami dalam bentuk tanya-jawab santai.

Ceritakan sedikit (boleh juga banyak heheh) tentang perkembangan Gerakan Literasi di Palu/Luwuk. Sejak kapan dimulai dan geliatnya bagi individu/komunitas/masyarakat di Palu/Luwuk?

Neni Muhidin:

Di Palu, saya memulai Nemu Buku sejak Agustus 2007. Itu tahun di mana saya baru saja balik dari Bandung dengan kebiasaan yang sama; tumbuh dari komunitas literasi dan ingin buat hal yang sama di kampung sandiri. Ternyata jauh berbeda, meskipun prinsipnya masih sama. Pendekatannya sama sekali berbeda.

Ama Achmad:

Di Luwuk, kegiatan literasi ini dimulai pada pertengahan tahun pertama kedatangan pengajar muda dari Yayasan Indonesia Mengajar. Itu sekitar tahun 2014. Dimulai dari terbentuknya komunitas-komunitas rintisan IM. Komunitas ini mulai menggelar Minggu Membaca di taman kota di Luwuk.

Minggu Membaca mengajak banyak orang dengan latar belakang berbeda datang, menggelar buku dan membaca. Selepas itu, lahirlah banyak komunitas lain dengan semangat yang sama. Satu orang mengajak satu temannya, temannya mengajak dua orang lainnya dan seterusnya.

Apa saja tantangan yang dihadapi sejak memulai Gerakan Literasi ini? Sejauh ini, apa tantangan paling berat?

Neni Muhidin:

Tantangannya, saya yakin juga sama dengan yang dialami kawan-kawan di tempat lain. Orang-orang lebih suka bicara daripada membaca buku, atau terbiasa berhimpun untuk membicarakan sesuatu. Tantangan paling berat justru sebenarnya datang dari saya dan kawan-kawan yang ada dalam gerakan ini agar selalu kreatif menciptakan suasana dan kesan tentang pengalaman membaca, menulis, dan mengembangkan diri.

Ama Achmad:

Tantangan terberat adalah mengajak dan mengenalkan aktivitas bersenang-senang dengan buku ini. Ada beberapa upaya dilaksanakan, misalnya games kecil setiap kali Piknik Buku. Atau Malam Puisi yang sengaja dilaksanakan di kafe-kafe untuk menjaring lebih banyak peminat.

Sering kali kami menerima pertanyaan: “Untuk apa capek-capek gelar buku?” Pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan data bahwa keberaksaraan Indonesia sangat memprihatinkan. Pertanyaan itu dijawab dengan senyuman dan kalimat-kalimat slang ala Luwuk, seperti “karena tong rajin, boleh bagitu” atau kalimat yang sejenis itu.

Selain itu tantangan berikutnya adalah keterbatasan koleksi buku. Hal ini berpengaruh pada rencana-rencana pembuatan rumah belajar di desa-desa. Meski ada beberapa kegiatan kami juga memakai sistem pinjam buku selama sebulan. Meminjamkan ke komunitas yang melaksanakan pekan baca di desa.

Selain itu kerja-kerja kolektif seperti ini memang menuntut komitmen penuh. Usaha menjaga api untuk tetap menyala adalah salah satu tantangan untuk tetap bergerak.

Bagaimana tanggapan yang kemudian muncul dari masyarakat Palu/Luwuk terhadap gerakan-gerakan yang telah dilaksanakan dalam kaitannya dengan literasi tersebut?

Neni Muhidin:

Pada awalnya yah kawan-kawan di Palu melihat gerakan ini sebagai hal yang biasa saja. Bahkan cenderung sinis. Lama-lama, orang-orang itu kepo juga. Itu peluang bagi kami untuk melibatkan mereka. Contohnya pemutaran film, ada kebiasaan di awal yang sarkas tentang “su nonton sama-sama ju, kong bacirita isi film lagi. For apa?” Dianggap absurd sekali.

Makin ke sini, kebiasaan-kebiasaan tersebut dikikis dengan pemahaman bahwa, membicarakan film atau buku yang sama-sama ditonton dan dibaca adalah bentuk apresiasi. Salah satu cara membiasakan nalar kritis kita untuk bekerja dalam melihat karya-karya tersebut, sebagai sebuah penciptaan yang layak untuk dibicarakan.

Ama Achmad:

Di Luwuk, kegiatan literasi ini adalah hal baru yang tidak populer dan tidak cukup menarik. Tetapi tentunya tetap mendapatkan reaksi positif dari beberapa pihak. Semisal pihak Dinas Perpustakaan Daerah dan Kearsipan yang melibatkan kami dalam beberapa workshop Kepenulisan yang mereka adakan. Atau kehadiran banyak orang di malam puisi edisi khusus. Workshop kepenulisan yang juga kami laksanakan dengan menyasar tenaga pendidik tingkat SMP dan SMA juga cukup diminati.

Sejauh ini, kegiatan apa saja yang masih terus dijalani untuk menghidupkan geliat literasi di Palu/Luwuk?

Neni Muhidin:

Malam puisi, book roadshow, bioskop jumat (pemutaran film), hagala buku, nombaca (bahasa Kaili artinya membaca, bahas buku). Saya merasa cukup jahat ketika meminta kawan-kawan yang saya perhatikan sedang membaca agar mereka menuliskan ulasan tentang buku yang mereka baca tersebut.

Namun demikian, saya percaya kebiasaan-kebiasaan mengapresiasi karya harus dimulai dengan hal-hal semacam itu. Saya senang karena pada akhirnya mereka bersedia melakukan pekerjaan tersebut lalu menyerahkan hasil pembacaannya kepada saya.

Ama Achmad:

Babasal Mombasa masih terus bergerak. Hal-hal rutin yang dilakukan adalah Piknik Buku setiap akhir pekan, Malam Puisi setiap bulan, kelas menulis kalangan terbatas setiap dua minggu sekali serta rencana-rencana membuat rumah baca kecil di desa.

Selanjutnya: Festival Sastra Banggai, Usaha Membangun Ekosistem Literasi

[nextpage title=”Festival Sastra Banggai, Usaha Membangun Ekosistem Literasi”]
Ceritakan bagaimana Festival Sastra Banggai (FSB) bermula? Tantangan yang dihadapi ketika melaksanakan FSB pada tahun pertama, berlanjut ke tahun kedua, hingga akhirnya memasuki tahun ketiga? Ceritakan juga, bagaimana kolaborasi terjalin demi terlaksananya FSB, baik degan para pegiat literasi di Palu/Luwuk, Komunitas-Komunitas, Penulis/Penyair, Penerbit, Relawan, MIWF, hingga akhirnya Pemerintah Kabupaten Luwuk?

Neni Muhidin:

Untuk pertanyaan ini, sebenarnya lebih pas jika Ama yang menjawabnya. Saya hanya menambahkan beberapa hal terkait konten festival.

Saya kenal Ama dan kawan-kawan di Luwuk sejak FSB baru akan dimulai. Luwuk – Palu jauh. Meskipun Palu adalah ibu kota provinsi (Sulawesi Tengah), tetapi Luwuk itu seakan-akan memiliki otonominya sendiri, tidak tergantung kepada Palu.

Luwuk tumbuh sebagai pusat urban baru di ujung timur. Mungkin karena letaknya yang strategis, berhadapan langsung dengan wilayah di timur lainnya, berbeda dengan ibu kota kabupaten lainnya. Lagipula investasi gas cair di sana menegaskan posisinya.

Saya hanya selalu memastikan ke Ama dan kawan-kawan agar bisa mewadahi potensi di tiga wilayah Banggai: Banggai, Banggai Kepulauan, dan Banggai Laut. Dahulu ketiganya adalah satu wilayah administratif. Potensi yang lain adalah, merangkul potensi sastra lisan di Sulawesi Tengah. Sulawesi Tengah mungkin adalah daerah di pulau Sulawesi yang paling heterogen secara budaya.

Ama Achmad:

FSB bermula dari diskusi kecil di warung kopi. Diskusi dimulai dari beberapa orang saja. Akhirnya direncanakanlah membuat pekan sastra yang konsepnya belajar dan bersenang-senang. Dari berbagi pengalaman antar kawan di lingkar kecil, tentang cerita berkunjung ke MIWF, disepakatilah untuk membuat pekan sastra yang mengadopsi acara serupa di Makassar.

Festival Sastra Banggai adalah nama yang dipilih setelah perdebatan panjang. Membawa nama Banggai adalah misi lain lagi bagi Babasal Mombasa. Nama Banggai yang melekat dimaksudkan untuk memberi identitas baru bagi kota ini. Berbicara tentang kota, kita senantiasa fokus pada pembangunan fisik. Identitas ini, bagi saya menjadi investasi sosial sebuah kota. Setelah itu Babasal Mombasa mulai bergerak, membuka komunikasi dengan banyak pihak.

Usaha-usaha mengadvokasi FSB relatif lama. Meyakinkan pemerintah daerah adalah salah satu bagian yang membuat kami sedikit gugup. Setelah audiensi dengan banyak pihak kurang lebih selama 6 bulan, akhirnya oleh pemerintah daerah, FSB menjadi salah satu kegiatan yang dimaksudkan menjadi agenda tahunan Kabupaten Banggai.

FSB pertama adalah upaya mengenalkan kepada masyarakat terhadap literasi, sastra, pendidikan dan budaya. Tantangan di FSB pertama tentu saja adalah bagaimana membangun/membuka jejaring dengan penulis, seniman dan budayawan yang hendak diundang. Bagaimana meyakinkan calon tamu untuk datang ke Banggai.

FSB pertama juga adalah upaya membangun sistem. Dengan tim yang tidak banyak, kami bekerja dan merekrut relawan. FSB kedua berjalan dengan baik. Meski tidak sepenuhnya tanpa halangan. FSB ketiga adalah hal lainnya.

Jejaring yang terbangun dengan pihak lain di luar FSB semakin luas. Salah satunya dengan MIWF yang kemudian menjadikan kegiatan FSB back to back dengan MIWF. Tantangan terberat adalah mengajak audiens, juga lokasi pelaksanaan yang relatif jauh dari pusat kota. Sehingga untuk FSB tahun depan, kami menyiapkan setting baru yaitu semua kegiatan dipusatkan di satu lokasi saja.

Bagi Ka Neni dan Ama sendiri, bagaimana melihat FSB berkembang selama tiga tahun ini? Apakah semakin menggembirakan atau ada hal-hal yang perlu dibenahi?

Neni Muhidin:

Tentu banyak hal yang harus dibenahi. Saya percaya perjalanan selalu mengajarkan banyak hal, jika memang kita sungguh-sungguh ingin belajar. Hal yang paling utama dari banyak hal tersebut, bagi saya adalah berkonsentrasi penuh pada penguasaan ruang, tempat FSB diadakan (RTH Teluk Lalong).

Ama Achmad:

Di beberapa hal ada yang bertumbuh dan menggembirakan. Seperti hubungan baik yang terus terjaga dengan beberapa pihak juga jejaring yang lebih luas.

Tantangan utama adalah membawa FSB menjadi tidak hanya sebuah kegiatan berbasis literasi dan sastra tetapi juga menjadi sebuah kebutuhan sebuah kota. Kebutuhan ini termasuk dalam merekam narasi-narasi baik yang menceritakan tidak hanya hal besar tetapi juga hal kecil.

Paling utama dari FSB satu ke FSB tiga adalah usaha keras membangun ekosistem literasi yang berdenyut sepanjang waktu.

Apa harapannya untuk Gerakan Literasi yang sudah berjalan di Palu/Luwuk, maupun juga untuk Festival Sastra Banggai ke depannya?

Neni Muhidin:

Di Palu, tentu saya berharap kegiatan-kegiatan menjadi lebih banyak dan semakin intens. Meski kecil saja tetapi sering. Itu akan membikin orang semakin percaya bahwa, para pelakunya tidak sedang main-main dan memiliki napas yang panjang untuk memastikan kegiatan ini terus berjalan.

Untuk FSB, harapannya adalah, saat festival ditutup, saya, Ama dan kawan-kawan, sudah berimajinasi; kami ada di tahun berikutnya. Membayangkan besok adalah pagi terakhir persiapan dan malam nanti FSB 2020 akan dibuka.

Ama Achmad:

Kami berharap gerakan literasi ini terus bertahan dan tentunya lebih luas lagi jangkauannya. Gerakan yang kami jalankan sifatnya kerelawanan sehingga, ke depannya kami berharap banyak anak-anak muda yang tergerak menjadi bagian dari gerakan ini.

Selanjutnya: Tentang Nemu Buku dan Babasal Mombasa

[nextpage title=”Tentang Nemu Buku dan Babasal Mombasa”]

Nemu Buku

Nemu Buku terletak di Jl. Tanjung Tururuka No. 27, adalah sebuah perpustakaan komunitas yang hadir sejak 17 Agustus 2007 di Palu. Perpustakaan ini sekaligus wadah bagi semua komunitas yang mau berkumpul di Palu.

Dalam salah satu artikel di Kumparan dijelaskan, ‘Nemu’ menjadi nama perpustakaan ini sebenarnya dari Bahasa Lembak, suku bangsa yang berada kawasan Bengkulu, kalau diindonesiakan berarti “menemukan”. Tetapi kata ‘Nemu’ juga merupakan akronim dari nama Neni Muhidin sendiri.

Babasal Mombasa

Babasal Mombasa merupakan singkatan dari Banggai, Balantak, dan Saluan. Sedangkan Mombasa, berasal dari bahasa Saluan, yang artinya membaca.

Saat ini Babasal Mombasa telah menjadi sebuah Yayasan yang berfokus pada gerakan literasi. Salah satu program tahunan yang dijalankan dan telah memasuki tahun ketiga adalah, Festival Sastra Banggai.


Catatan: Jika Anda punya cerita menarik tentang geliat komunitas literasi, pegiat literasi, atau agenda-agenda literasi, kirim ceritanya untuk rubrik “Sekitar Kita” di bacapetra.co.

Komentar Anda?