Menu
Menu

Di sesi yang lain, salah satu sesi terakhir di Festival Sastra Banggai, salah satu peserta menulis puisi tentang bencana, yang sederhana dan jujur, dan seorang remaja lelaki kesulitan menghentikan tangisnya…


Oleh: Reza Nufa |

Tinggal di Jogja. Pemred di Penerbit Basabasi. Penulis “Pacarku Memintaku Jadi Matahari”. Hadir sebagai Pembicara di Festival Sastra Banggai 2019. Tulisan-tulisannya yang lain bisa dibaca di rezanufa.wordpress.com.


Boeing 737-500 itu melandai setengah sadar di landasan pendek Syukuran Aminuddin Amir.

Dari sisi kanan angin menuruni bukit-bukit, menepuk bodinya, bertubrukan dengan udara laut yang menunggu di sisi kiri. Roda kurusnya mencengkeram tanah, sedikit berguncang, menandai ingatan pertama saya tentang kota ini, lalu kabin menyala.

Orang-orang merakit kembali diri mereka. Saya masih menguap sembari menonton laut yang kembang kempis. Saya sempat lupa kedatangan saya ke Luwuk adalah untuk memenuhi undangan Festival Sastra Banggai dan sebelumnya sempat bertanya-tanya, festival semacam apa yang akan terjadi di kota kecil ini?

Luwuk (lebih sering dibaca Luk, dengan w lesap) adalah ibukota Kabupaten Banggai (dibaca bang-ga-i, dengan i nyaring). Luwuk terlihat seperti huruf C yang meringkuk memeluk Teluk Lalong, dan gunung Weh duduk menunggui punggungnya. Tidak banyak kapal bersandar di pelabuhannya yang redup dan kerap dipakai mabuk di malam hari—saya tak bakal terkejut kalau melihat Bukowsky main remi dengan bayangannya sendiri di sana. Tidak banyak kesenangan di Luwuk.

Pukul 23.00, lampu-lampu jalan sudah mengantuk. Kasir swalayannya adalah tetanggamu sendiri yang mungkin punya utang kepadamu. Suku-suku terpisah bukit dan laut. Luwuk belum punya toko buku. Luwuk belum punya toko buku. Astaga, Luwuk belum punya toko buku. Bila kau pesan buku dari Luwuk, ongkos kirimnya akan lebih mahal dari harga bukunya.

Pantainya terlalu panjang dan cantik sehingga membuatmu bingung hendak melamun di bagian mana. Tidak ada tempat sembunyi di Luwuk oleh karena itu kau tidak mungkin selingkuh. Anak mudanya percaya bahwa Fiersa Besari adalah sastrawan.

Dalam banyak aspek, mengadakan festival sastra di kota ini adalah sebuah laku abnormal. Tapi dari kondisi inilah patut dicurigai bahwa mereka yang berada di balik FSB adalah manusia-manusia anarkis.

FSB jilid 3 berlangsung pada 29 Juni – 3 Juli 2019. Mengusung tema “Musim-Musim yang Memberi Tanda”, FSB mengundang orang-orang keren dari berbagai sudut negeri: Maman Suherman, Trinity Traveler, Adimas Imanuel, Lily Yulianty Farid, Dea Anugrah, Caroline Monteiro, Rumah Ripta, Jemmy Piran, Maria Pankratia, Brian Khrisna, Shinta Febriany, Ibe S. Palogai, Robi Navicula, dll.

Dari deretan nama tersebut sudah bisa diperkirakan bahwa festival ini tidak main-main, dan berkumpulnya orang-orang ini, di sebuah kota kecil yang tenteram di pojok Sulawesi, memicu perasaan aneh dalam tubuh saya.

Saya seperti hendak menghadapi sebuah persekongkolan untuk menggulingkan sesuatu, skandal seks, atau memasuki salah satu film Conan; di tengah liburan, sebuah kematian terjadi sehingga kami harus menyelesaikannya sebelum pulang. Dan itu memang sungguh terjadi, lebih pelik dari yang Conan alami karena terjadi di dalam tubuh kami.

Di Luwuk, sesuatu telah mati, begitu pula sesuatu tumbuh. Satu sisi, festival ini begitu besar namun disentuh dengan sederhana, sehingga kadang saya melihat ia seperti berjalan menyeret separuh tubuhnya yang kebas; di sisi lain, ia memicu kehidupan lain dalam diri saya, yang tidak bisa  saya antisipasi secara dewasa dan  saya biarkan melompat-lompat selama berada di sana.

Tiga pekan sudah berlalu semenjak tubuh saya meninggalkan Luwuk. Ada sesuatu yang belum tuntas antara kami, yang jejaknya hilang dalam mendung Syukuran Aminuddin di hari kepulangan saya ke Jogjakarta. Saya berusaha menyusurinya kembali demi tulisan ini.[nextpage title=”Mencari Festival, Mencari Sastra”]

Dalam salah satu obrolan, Adi, salah satu panitia, bercerita tentang pengalamannya menjadi relawan bencana. Dia menyaksikan tubuh manusia berserak seperti dedaunan di musim kemarau. Saya tercekat mendengar kisah-kisahnya.

Di obrolan lain, Dina, fotografer acara, bilang bahwa Babasal pada nama komunitas Babasal Mombasa adalah akronim dari Banggai, Balantak, dan Saluan, tiga suku yang meninggali Banggai. Ketiga suku itu punya bahasa masing-masing dan di Luwuk ketiganya melahirkan masyarakat hibrida yang membangun bahasa baru.

Di salah satu sesi di mana saya diminta menjadi narasumber, ada dua orang perempuan paruh baya yang datang bersama beberapa remaja dari komunitas pemberdayaan perempuan dan anak, menyeberang dari kampung mereka yang amat jauh.

Di sesi yang lain, salah satu sesi terakhir di FSB, salah satu peserta menulis puisi tentang bencana, yang sederhana dan jujur, dan seorang remaja lelaki kesulitan menghentikan tangisnya ketika puisi itu dibacakan di tengah kami. Genangan di mata saya menebal karenanya.

Di Banggai saya tidak lama dan dipaksa oleh keadaan untuk lebih banyak bicara ketimbang mendengar, tapi bisa saya rasakan bahwa Banggai punya sesuatu untuk diceritakan, tak kalah berharga dari apa yang akan saya ceritakan kepada mereka. Boleh  saya bilang, saya, dan kawan-kawan penulis undangan lain, sebetulnya adalah murid-murid Banggai, kendati Banggai tak menyadari dirinya adalah guru.

Tak begitu jauh dari Banggai, ada lampu terang bernama Makassar International Writers Festival. Dengan MIWF-nya, Makassar hampir menjadi Jakarta yang menelan lampu-lampu lain di sekitarnya, atau bahkan lebih dilematis dari itu, ia mengubah lampu-lampu di sekitarnya menjadi laron semata, yang akan mati setelah lelah mengitarinya.

Apa yang dilakukan oleh FSB, dengan menjadikan MIWF sebagai lokomotif kemudian mengemas gerbongnya sendiri sehingga orang yang memasukinya akan bisa menemukan Banggai, bukan Makassar, apalagi Jakarta, merupakan sikap yang layak ditepuktangani.

Semangat kedirian ini muncul dalam program-program mereka, kendati kita perlu bertanya apakah ini sudah cukup “Banggai”, misalnya pada sesi Neni Muhidin yang bercerita tentang bencana yang mengguncang Sulawesi; sesi Jemmy, Maria, dan Safar yang membahas gerakan-gerakan literasi “Dari Timur untuk Indonesia”; dan Roby Navicula yang  didatangkan untuk mengangkat isu sampah plastik.

Ketegasan dalam wacana yang diusung amatlah krusial di tengah narasi yang semakin monofonik sekaligus universal, yang rawan menjebak kita dalam kemelut persoalan milik orang lain, atau membawa solusi yang sebetulnya tidak bersumber dari pergulatan yang riil—seperti menanam padi di tanah Papua atau mendidik anak-anak Badui agar punya cita-cita ala ibukota.

FSB cukup berhasil untuk tidak terjebak dalam heroisme sejenis itu. Ia mengangkat beberapa isu dan pergulatan masyarakatnya.

Tapi, terutama di sesi yang mengambil tema yang amat serius, ada jarak terjal antara apa yang disuguhkan dengan siapa yang hendak menyantap. Dialog-dialog yang terbentuk di antara dua subjek kebudayaan itu, yang mestinya adalah dialog problematis yang saling membaca serta merefleksi, menjadi buntu karena medan pergumulan yang sama sekali berbeda. Para pembicara kadang berimprovisasi mencari topik baru agar dialog tetap mengalir.

Selama berinteraksi dengan audiens FSB, saya melihat sebagian besar dari mereka adalah (1)para pembaca muda yang jangkauan bacaannya berkisar pada buku-buku popular, (2)para penulis pemula yang berharap bisa menimba teknik kepenulisan, dan (3)para pencinta dan penggerak literasi yang membutuhkan bantuan dalam melestarikan kegiatan mereka.

Persoalan-persoalan mereka masih sangat mendasar, misalnya tentang bagaimana menulis dengan bagus, bagaimana membuat anak-anak gemar membaca, apakah sastra itu, dan sejenisnya.

Di hari pertama, saat Jemmy mengisi sesi menulis kreatif, audiens yang datang mencapai 30 orang, sedangkan di sesi lain, jumlah audiens bisa dihitung dengan sekali kedipan. Penyebabnya patut dicurigai, selain kurangnya relevansi beberapa tema yang diangkat, minimnya publikasi, dan persoalan teknis lain yang tak bisa diabsen di sini, adalah lokasi acara yang terberai.

Persoalan lokasi ini adalah poin krusial berikutnya. Acara-acara FSB dihelat di beberapa tempat, sebagian di hotel, sebagian lagi di kantor dinkes, di sekolahan, dan lainnya. Pengunjung terpecah ke banyak lokasi. Tidak ada kepadatan massa. Mobilitas pembicara pun terbatas. Perjumpaan mereka hanya terjadi pada jam makan dan acara malam. Tidak ada intensitas pertemuan yang cukup menggairahkan.

Padahal, daya tarik utama sebuah festival adalah ketika ia mampu melumerkan manusia-manusia dari lapis berbeda di ruang dan waktu yang sama—harap dicatat: bukan hanya pada waktu yang sama.

Saya masih ingat, di Asian Literary Festival, ketika Saut Situmorang memparodikan puisi Sapardi di lobi teater TIM dan orang-orang terbahak olehnya, saya melihat Khrisna Pabhicara menyendiri, duduk di emperan gedung itu, dengan wajah datar mengamati asap rokoknya sendiri, begitu banal sekaligus puitik. Itu fragmen otentik yang tak semua orang menangkapnya dan saya merasa beruntung berada di sana.

Di MIWF, orang bisa lihat Fiersa Besari, Faisal Oddang, Sabda Armandio, Mahfud Ikhwan, Syahid Muhammad, hilir mudik dan bisa dijangkau kapan saja. Mereka akan datang setiap hari hanya agar bisa berada pada momentum sejarah yang sama dengan orang-orang keren ini.

Di FSB saya melihat sastra dan festival saling memunggungi. Di siang hari, orang datang untuk berwacana dan hanya itu pilihan yang tersedia. Tidak ada kemungkinan mereka datang untuk sekadar makan lalampa sambil menatap tawa Kang Maman dari kejauhan. Di acara malam yang dihelat di Ruang Terbuka Hijau (RTH), kekakuan itu terobati oleh penampilan dari para musisi dan penulis. Banyak orang saling bersandar bahu. Banyak ruh yang meliuk-liuk keluar dari dagingnya.

Pada waktu-waktu itulah FSB menampakkan ciri festivalnya, dan orang Luwuk, tak peduli punya minat sastra ataupun tidak, merasa bahwa acara itu untuk mereka. Tak setubuhnya ruang-ruang wacana dengan ruang hiburan ini membuat FSB seperti punya dua wajah. Ia kemudian sulit untuk dikenali. Sangat mungkin, orang-orang yang berkunjung ke acara malam sama sekali tidak tahu bahwa ada banyak acara FSB yang bagus di siang harinya.

“Festival” dan “sastra” sejak mula adalah dua entitas yang saling mencemburui. Dalam festival orang ditawari keramaian dan relaksasi, sedangkan dalam sastra orang mendapati keheningan dan (ke)tegangan. Beberapa kota penyelenggara festival sastra berhasil mendamaikan keduanya sehingga orang tertarik datang sebagai penikmat festival ataupun penikmat sastra—mereka tidak harus menjadi keduanya.

Apa yang dilakukan MIWF, dengan memusatkan sebagian besar acaranya di Fort Rotterdam, dan beberapa festival literasi di Jakarta yang memusatkan acara di TIM, adalah contoh sederhana bagaimana sastra difestivalkan.

Dan karena ini Banggai, saya sempat membayangkan akan ada acara yang menjadikan laut sebagai sentral, apa pun itu, entah membuat puisi dengan nama-nama ikan, seperti keisengan yang pernah dilakukan oleh Safar, atau membicarakan Bajo di geladak kapal yang tertambat di pelabuhan, atau hal lain yang tidak mungkin terjadi jika tidak di Banggai. Ruang Terbuka Hijau di Teluk Lalong, yang berdekatan dengan pelabuhan dan taman Pinasa, kurasa memadai untuk itu.

Saya tidak tahu apa yang sedang FSB rencanakan untuk tahun depan. Jika memungkinkan, saya ingin kembali berada di sana dan menyaksikan secara langsung bagaimana mereka menguatkan akar dan tentu saja mekar.[nextpage title=”Pinasa, Akronim, Tiga Suku Kata”]

Dengan jins biru dan sneakers, Bupati Banggai berjalan gegas ke panggung utama. Cuaca dingin menyembur dari laut, memaksa Jemmy—dia duduk di samping saya, dan demi tuhan, kami menggelikan seperti sepasang lelaki dalam Brokeback Mountain—memeluk dirinya sendiri semakin keras.

Dalam kata pengantarnya, Pak Bupati membahas “pinasa”, akronim atas “pia na sampah ala” yang berarti “kalau lihat sampah, ambil.” Lema ini dimunculkan di awal pemerintahannya, tiga tahun yang lalu, dan diklaim telah menjadi kata yang karib dalam keseharian masyarakat Banggai. Setelah beberapa hari berada di Luwuk, saya bisa mengangguki klaim itu, dan bahkan tidak berlebihan jika pinasa didaku sebagai bagian dari kultur Banggai.

“Pinasa” mengganggu saya cukup lama. Sebelum tidur  saya pikirkan pinasa. Esoknya, saat sarapan di barelo, masih  saya pikirkan pinasa. Tidak terbayangkan sebelumnya, sebuah kata yang diciptakan oleh pemerintah—sejenis kata yang formalistik dan tentu saja menyebalkan—bisa diserap dengan apresiatif oleh masyarakat. Pinasa berhasil membuat Luwuk diganjar penghargaan sebagai kota terbersih selama tiga tahun berturur-turut. Ia kata yang kuat sekali.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh seseorang yang namanya tidak bisa saya ingat dan malas saya cari tahu kembali, ada beda signifikan antara cara masyarakat negara maju dan negara berkembang dalam melihat sampah.

Ketika warga negara maju ditanya “apa yang kamu pikirkan ketika mendengar kata sampah?”, sebagian besar jawaban mereka adalah “recycle”. Di lain pihak, ketika warga negara berkembang ditanya dengan soal yang sama, sebagian besar jawabannya adalah “kotor” dan “jorok”.

Bangunan kesadaran kedua masyarakat ini jauh berbeda. Pinasa berhasil menyusun ulang setidaknya satu hal penting dalam kepala orang Banggai, yaitu kesadaran tentang sampah, yang dulunya terasosiasi kepada “kotor” dan “jorok”, kini menjadi “ambil!”

Luwuk juga punya jargon “Luwuk Kota Berair” (bersih, aman, indah, rapi). Akronim ini tak kalah canggih dari pinasa. Dengan cerdik mereka menata kesadaran mereka sendiri tentang segala yang menyangkut air—laut, sungai, sumur, bak mandi, dan dalam lingkup yang lebih luas, ruang hidup mereka sehari-hari.

Perkara air di Luwuk saya rasa sama besarnya dengan perkara transportasi di Jakarta. Coba kau bayangkan, Jakarta menata ulang kesadaran mereka tentang transportasi, misalnya, dengan menggeser asosiasinya, dari “macet” dan “bising” kepada “tertib” dan “bersih”. Ini sesuatu yang revolusioner.

Selain “pinasa” dan “berair”, ada banyak akronim lain yang dibuat oleh warga Luwuk. Barelo, yang sempat saya sebut di atas, adalah akronim dari bar, resto, and lounge. Babasal adalah akronim dari Banggai, Balantak, Saluan. Agnici, nama salah satu panitia, adalah akronim dari Agustus (bulan kelahiran), Roni (nama bapak), Cindra (nama ibu). Tidak bisa saya sebutkan semua.

Tapi saya senang sekali bisa mengumpulkan akronim-akronim itu. Dan karena akronim-akronim itu sebagian besar disusun dengan tiga suku kata, saya sempat mencurigai semua kata yang disusun dengan tiga suku kata. Mungkinkah sebetulnya mereka berawal dari sebuah gagasan yang diakronimkan? Saya curiga Ban-gai-i, Ba-lan-tak, dan Sa-lu-an juga adalah sebuah akronim.

Saya kumpulkan cukup banyak kata dengan tiga suku kata: martelu untuk martil, mangoa untuk rakus, palele untuk penjual keliling, popoji untuk saku, polote untuk kekenyangan. Saya tidak puas karena kata-kata itu tidak mengandung makna yang kompleks. Saya sempat menemukan “muhama”, yang berasal dari “muhammad”, yang dipakai untuk mewakili rasa terkejut semacam “oh my god!”.

Di Luwuk saya menemukan kesenangan dalam berbahasa. Saya saksikan bahasa mencari bentuk yang paling sederhana. Kerumitan sebisa mungkin dihindari. Pola yang sudah lebih banyak ditemui di Timur adalah pemendekan kata, misalnya, “saya” menjadi “sa”, “sudah” menjadi “su”, “tidak” menjadi “te”.

Akronimisasi yang dilakukan oleh Luwuk adalah sesuatu yang lain. Kreativitas mereka sungguh mengusik kepala saya. Jika saja saya punya cukup banyak waktu di sana, akan saya telusuri lebih banyak akronim, sampai akhirnya bisa saya buat dan sebarkan akronim ciptaan saya sendiri.[nextpage title=”Ruang Sentimentil”]

Sepertinya saya jatuh cinta kepada Luwuk dan itu mulai terasa menyakitkan. Di awal tulisan saya bilang bahwa kota ini tidak punya banyak kesenangan. Tapi, sejujurnya, kota ini punya banyak keintiman. Ia memberi peluang kepada manusia untuk mencair lantas menyelam dan diselami. Luwuk tidak cocok untuk senang-senang, tapi ia kondusif untuk berbahagia.

Malam berlangsung panjang tanpa perlu banyak lampu. Saya dan beberapa penulis lain menebus kebersamaan yang tak kami dapatkan di siang hari dengan duduk-duduk di barelo. Ibe, yang melankolis meski hangat sepanjang waktu, menyihir setiap perbincangan menjadi pergumulan eksistensial. Malam adalah barang memabukkan bila ada Ibe. Dia sempat bilang akan menulis sesuatu untuk atau tentang Luwuk.

Adimas, yang selalu muncul saat yang lain sudah malas bicara, ingin residensi di Luwuk selama satu bulan, menyewa tempat yang nyaman, lalu menyelesaikan sesuatu di sana. Saya sendiri sempat berkicau ingin jadi relawan di FSB tahun depan. Festival sastra begitu terasa dalam sirkel kecil itu.

Di sesi terakhir, sempat saya singgung pula di atas, saat seorang audien menangis mendengar puisi bencana dibacakan, suasananya amat berbeda dengan sesi-sesi yang dihelat hari sebelumnya. Para pembicara tidak duduk di meja mereka, melainkan duduk melingkar bersama audiens. Acara berlangsung lebih panjang dari seharusnya. Kami sempat rehat dan ngemil bersama, dan acara disambung tanpa satu pun pulang lebih dulu.

Beberapa penulis lain, yang bukan pembicara, ikut meramaikan. Berulang kali saya bergumam, bahkan sampai hari ini, seharusnya inilah yang terjadi di setiap sesi diskusi dan di seluruh acara FSB. Di kota kecil yang cantik ini amat absurd bila orang terasing satu sama lain; amat absurd bila orang tidak menjadi diri mereka sendiri.

Kita tidak sedang bicara Jakarta yang orang-orangnya adalah mikrofon, atau Makassar yang pantai-pantainya adalah karung, atau Jogja yang pertemuan-pertemuannya serupa bawang. Luwuk adalah sesuatu yang lain. Ia sederhana dan dalam kesederhanaan itu kenikmatan-kenikmatan kecil, yang biasanya adalah juga sesuatu yang fundamental, terasa tanpa perlu digali dengan sukar.

Di pagi ketiga, usai melalui malam panjang lain di barelo, saya sempat menunggui matahari terbit bersama Shinta Febriany dan Farid, salah satu LO. Kami berkendara sampai dekat bandara, lalu duduk di tepi pantai. Sunrise-nya tidak begitu bagus; matahari melulu sembunyi di balik perbukitan yang berawan, tapi itu adalah salah satu pagi paling berisi dalam hidup saya, karena saat itu Shinta, Farid, dan saya menjadi manusia yang lepas dari ornamen-ornamennya. Di hari yang sama, Shinta kembali ke Makassar dan Maria, yang bangun agak siang gara-gara cap tikus, melepasnya seperti kehilangan perhiasan.

Ketika kembali ke Jogja, saya berusaha menemukan kembali Luwuk dengan membeli lalampa, salah satu jajanan yang paling saya sukai selama berada di sana. Saat menulis ini pun saya mengunyah lalampa. Melalui lalampa saya jejaki banyak ingatan lain selama di sana. Saya sungguh kangen kepadanya.

Dan, karena di titik kehidupan saya saat ini saya meyakini bahwa manusia yang beruntung adalah manusia yang bisa menemukan kekasih selain manusia, saya bersyukur betul bisa berjumpa dengan Luwuk.

Mungkin kelak FSB bagi Luwuk akan seperti lalampa bagi saya: menjadi penanda bagi hal-hal yang lebih dalam dan luas. Luwuk akan menunggu FSB setiap tahunnya, untuk meneroka kembali diri mereka, mengukur kembali sejauh mana wacana dan aksi berjalan.

Pula terbayang oleh saya, FSB membuat satu akronim yang sama cerdiknya dengan “pinasa”, lalu mereka patenkan akronim itu untuk seterusnya, sehingga tiap kali akronim itu disebut, orang-orang akan mengingat festival, mengingat sastra, mengingat RTH Teluk Lalong, mengingat FSB. Saya tidak tahu apa akronim yang tepat untuk itu. Teman-teman FSB lebih tahu. Sebagai komentator, sampai sini saja ocehan saya.

Sebagai penutup: Luwuk betul-betul sialan. (*)

2 thoughts on “Luwuk: Mencari Penanda pada Jejak Ketiga Festival Sastra Banggai”

  1. Hamia Niank berkata:

    Luar biasa ulasan Jemmy tentang akronim yang dugunakan sehari-hari oleh masyarakat Luwuk. Seandainya sajaJemmy tinggal lebih lama lagi di Luwuk pasti akan merasakan sensasi lain selain akronim-akronim tersebut.
    Terimakasih sudah datang berbagi ilmu dengan Kami di Luwuk Banggai.

    1. KLUB BUKU PETRA berkata:

      Halo,
      koreksi yah kak Hamia Niank. Ulasan di atas ditulis oleh Kak Reza Nufa bukan Jemmy. Hehehe.. Terima kasih sudah mampir dan membaca. Salam ke Luwuk~

Komentar Anda?