Menu
Menu

Melalui “Kelakuan Orang Kaya” Puthut Ea mengajarkan bahwa persoalan-persoalan di sekitar kita dapat ditulis dengan sederhana.


Oleh: Maria Pankratia |

Tinggal di Ruteng. Saat ini sedang berusaha memenuhi target membaca di tahun 2019, sembari berusaha tidak melewatkan drama-drama korea terbaik tahun ini.


RUTENG sedang sibuk-sibuknya. Sibuk berpesta, sibuk menadah hujan yang jatuh lebih cepat dari musim yang belum saatnya berganti.

Kabut yang naik begitu cepat di senja hari dan bertahan hingga malam datang, membikin enggan melangkah ke mana pun. Barangkali hal ini yang menyebabkan Bincang Buku IX Klub Buku Petra malam itu hanya dihadiri tujuh peserta. Meski demikian, diskusi berjalan asyik selama kurang lebih tiga jam.

Bincang Buku Petra yang kesembilan itu berlangsung pada hari Kamis, 26 September 2019, membahas 55 kisah ringkas dalam buku kumpulan cerpen Puthut Ea berjudul “Kelakuan Orang Kaya”.

Marto Rian Lesit hadir sebagai Pemantik, menyampaikan hasil pembacaannya melalui kacamata antropologi sastra. Menurutnya, kisah-kisah di dalam Kelakuan Orang Kaya adalah kumpulan narasi-narasi kecil “kelakuan” (situasi, cara hidup, perspektif, sikap, bahasa, dan lain sebagainya) atau budaya masyarakat yang ada di sekitar lingkungan penulis.

Tampak ada pemaknaan baru tentang kaya dan miskin, terutama masyarakat kota yang kemudian penulis bandingkan dengan masyarakat desa/kampung. Juga perbandingan antara masyarakat kota yang kaya dan masyarakat kota yang miskin. Pengertian yang miskin dan kaya, yang Puthut Ea sampaikan dalam cerita-cerita kecilnya sebenarnya bukan hanya soal kaya harta. Lebih luas Puthut memberikan definisi baru bagi kata ‘kaya’.

Jangan harap buku ini melulu membicarakan tentang orang kaya secara materiil. Ada orang kaya harta tetapi miskin hati. Orang lain bergelimang kebajikan dan kebijaksanaan tetapi kekurangan uang. Yang lain katanya kaya akan Tuhan tetapi miskin belas kasih pada sesama. Beberapa di antaranya penuh kesibukan sehingga berjarak dari Tuhan. Sungguh inilah penampakan riil masyarakat modern saat ini. Begitu sarat makna, mengajak pembaca mendalami kisah-kisah pinggiran dan kecil hingga ke tingkat elitis secara dalam.

“Jika kita ikuti, Puthut membagi buku ini ke dalam tiga bagian,” jelas Marto.

Bagian pertama, perilaku orang-orang umum yang jahil, tokoh Rio pada kisah pertama sebagai gambaran perwakilan “orang yang pura-pura kaya tetapi tidak benar-benar kaya”. Secara fisik, Rio mampu membeli es krim yang tidak bisa dibelikan oleh sang ibu untuk anaknya. Namun, melihat kelakuan Rio yang memakan es krim tersebut di hadapan sang anak yang sejak tadi merengek-rengek pada ibunya, Rio tentu saja miskin belas kasih.

Ada juga Tukang Getek yang berlimpah kebajikan dan kebijaksanaan. Tukang Getek ini mungkin miskin secara materi, akan tetapi dia berhasil mengantar sekian banyak orang yang bersekolah dan bekerja dengan geteknya selama bertahun-tahun hingga menjadi sukses dan kaya.

Orang kaya lainnya, ada pasangan Mulyadi dan Mardiasih, mereka menjual warisan orang tuanya di kampung sebab ingin hidup berkecukupan di kota dan bisa menyekolahkan anak-anaknya di sekolah yang bagus. Sementara itu, tuntutan hidup di kota tidak sebanding dengan hasil menjual tanah, rumah serta warisan lainnya yang ditinggalkan orang tua mereka. Keluarga Mulyadi dan Mardiasih tetap hidup pas-pasan dengan utang yang menumpuk.

Marto melihat, di sini ada semacam paradoks dari tokoh-tokoh yang coba diceritakan oleh Puthut Ea. Tidak ada manusia yang benar-benar kaya, seperti juga tidak ada manusia yang benar-benar miskin di dunia.

Bagian kedua, dengan judul besar “Segenggam Kacang Tanah”. Cerita-cerita di bagian ini sangat ringkas dan berfokus pada hubungan manusia dengan Tuhan. Ada banyak pesan-pesan moral yang hendak disampaikan Puthut melalui kisah-kisah tersebut, seperti bagaimana segenggam kacang tanah bisa menghancurkan orang-orang yang merasa saleh dan beriman kepada Tuhan, ketika dalam waktu bersamaan mereka justru mempermasalahkan orang lain yang tidak sepikiran atau sejalan dengan mereka.

Memang Puthut Ea sengaja mengangkat hal-hal remeh atau narasi-narasi kecil di tengah masyarakat melalui cerita-cerita di bab ini. Kita seringkali dimiskinkan oleh perspektif kita tentang Tuhan, padahal sebenarnya Tuhan tidak mengharuskan kita beribadah dengan cara tertentu.

Bagian ketiga dalam buku ini, lebih kepada celotehan-celotehan Puthut Ea tentang kecemasan-kecemasan atau gagasan yang berseliweran di kepalanya, juga lelucon-lelucon absurd yang hendak ia bagikan kepada pembacanya.

Terkait bentuk tulisan, menurut Marto, cerita-cerita di dalam buku ini sangat pendek sehingga tidak bisa digolongkan sebagai cerpen; ada beberapa unsur cerpen yang absen, seperti latar waktu, tempat, dan lain-lain. Puthut sendiri menjelaskan tentang hal ini pada kata pengantar: kisah-kisah ini sengaja ia sederhanakan.

Menurut Marto, Puthut bisa jadi mengadaptasi teknik stand up comedy yang sering kita saksikan di televisi. Para komika itu sedemikan rupa mengemas materi menjadi padat dan berisi, lalu pada bagian akhir menutupnya dengan punch line yang mengejutkan, sehingga membuat para penonton tertawa terpingkal-pingkal atau berpikir dan merenung.

Marto mengakhiri hasil pembacaannya dengan mengenang pastor-pastor tua di zaman penjajahan, yang setiap hari menuliskan catatan-catatan kecil tentang kegiatannya sepanjang hari. “Sebagaimana pastor-pastor tersebut, Puthut melakukan penelitiannya sendiri terhadap peristiwa-peristiwa yang ia alami setiap hari. Hasil amatannya tersebut, ia interpretasikan ke dalam catatan-catatan berbentuk cerita-cerita ringkas pada Kelakuan Orang Kaya,” tutup Marto.

Bagian berikutnya: Kelakuan Orang Kaya yang Tak Taat Aturan[nextpage title=”Kelakuan Orang Kaya yang Tak Taat Aturan”]

Febhy Irene, salah seorang anggota Klub Buku Petra yang hadir pada Bincang Buku malam itu menyatakan bahwa, Kelakuan Orang Kaya merupakan buku yang sangat menarik.

Dari buku ini, Febhy menilai, ketika seseorang menulis, ia tidak harus menaati aturan-aturan kepenulisan, tetapi bagaimana tulisan tersebut memberi kesan bagi pembaca dan awet dalam ingatan. Itulah kenapa juga penting bagi penulis untuk memiliki ciri khasnya sebagai penulis. Bagi Febhy, Puthut Ea memberikan kesan yang mendalam sejak halaman pertama.

Melalui kisah-kisah Puthut, kita jadi bisa menilai bahwa tidak semua orang adalah orang baik. Puthut, membuat kita merasa sangat manusiawi. Ada orang yang begitu tulus dan baik hati, tetapi terus saja mengalami hal buruk. Semua itu diceritakan dengan singkat, padat dan jelas. Tidak bertele-tele. Ada dua cerita yang menurut Febhy memberinya kesan mendalam: Kelakuan Orang Kaya dan Sujud Syukur. Dari cerpen Sujud Syukur, Febhy merasa (bersepakat dengan Puthut) mencari rejeki adalah selingan sebab inti dari kehidupan sesungguhnya adalah bersyukur.

Setelah Febhy, saya mendapat kesempatan untuk menyampaikan hasil pembacaan terhadap kumpulan cerpen Puthut Ea ini. Bagi saya, kisah-kisah di buku ini pendek-pendek, tetapi padat, lugas, sekaligus menyiratkan banyak pesan moral. Dari pesan yang sepele hingga pesan yang penting sekali, meskipun hampir semua cerita memiliki alur yang kurang lebih sama.

Ketika membaca buku ini, saya teringat salah satu materi yang pernah saya dapatkan pada salah satu lokakarya penulisan cerpen yang dibawakan Budi Darma. Budi Darma menjelaskan konsep cerpen pada zaman Balai Pustaka/Pujangga Baru: cerpen itu pendek, cukup dibaca selama beberapa menit sambal menunggu kereta api, menunggu bis, atau menunggu giliran diperiksa oleh dokter. Yang disampaikan Budi Darma saya temukan pada cerita-cerita Puthut Ea di buku Kelakuan Orang Kaya ini. Kisah-kisah ringkas yang hanya menghabiskan waktu membaca dua sampai tiga menit.

Dari kisah-kisah ringkas itu juga, saya menyimpulkan satu hal: dunia adalah tempat yang sangat mengerikan. Jika kau ingin terus menjadi tulus seperti merpati, tanpa pernah mencoba licik seperti ular, maka kau hanya akan terus mengalami kesulitan dan dikecewakan sepanjang saat oleh orang-orang dan lingkungan di sekitarmu. Di buku ini, Puthut mencoba mengisahkan fenomena masyarakat kita dengan apa adanya, tanpa dibebani teori menulis apa pun dengan alur cerita yang njlimet sebagaimana yang sering saya temukan pada cerita-cerita lain.

Giliran selanjutnya adalah Rio yang juga hadir pada bincang buku malam itu. Kumpulan kisah “Kelakuan Orang Kaya”, adalah buku cerpen pertama yang Rio baca. Sebelumnya, ia hanya pernah membaca kumpulan cerpen Sherlock Holmes.

Rio mengibaratkan ada dua situasi yang dibutuhkan ketika membaca buku ini. Pertama, ketika kita masih sangat muda dan membutuhkan petunjuk dalam usaha menemukan jati diri, buku ini sangat tepat untuk menjadi panduan kita. Kedua, ketika kita ada di usia mapan dan sibuk mengejar materi, membaca buku ini –khususnya pada bagian II—akan membantu kita merefleksikan hidup yang sudah kita jalani. Apakah kesibukan-kesibukan yang kita jalani, dan keputusan-keputusan yang kita ambil sudah tepat bagi kita? Secara singkat, buku ini harus dibaca sesuai dengan kebutuhan pembaca. Rio sendiri menganjurkan bagi mereka yang membaca untuk mendapatkan sensasi tertentu, sebaiknya tidak membaca buku ini dulu. Kisah-kisahnya yang sederhana, bisa jadi hanya akan sekadar lewat begitu saja tanpa kesan. Seperti iklan.

Jeli Jehaut mendapat kesempatan kelima untuk berbicara. Ia memulai komentarnya tentang buku ini dengan mengisahkan penulisnya yang adalah sesama Fans Fanatik AS Roma. Puthut dikenal sebagai fans sejati AS Roma sekaligus buzzer setia yang secara tak langsung meneguhkan para pecinta klub sepak bola ini ketika mengalami kekalahan dalam pertandingan. Jeli mulai membaca Puthut dari kisah-kisahnya tentang AS Roma tersebut di blog Puthut. Saat mengetahui bahwa kumpulan kisah Kelakuan Orang Kaya akan dibahas sebagai buku kesembilan di Klub Buku Petra tahun ini, ia tentu saja sangat bersemangat.

Bagi Jeli, sebagaimana tulisan-tulisan Puthut tentang klub bola kesayangannya, kisah-kisah di dalam kumpulan cerpen ini menyiratkan hal yang sama, kaya dan miskin tidak selalu tentang harta. Ada banyak hal yang membuat kita tergolong miskin atau kaya, salah satunya kreativitas. “Kekuatan Tulisan” menjadi kisah paling berkesan bagi Jeli dari kumpulan kisah ringkas ini. Menurut Jeli, orang kaya adalah sang perempuan –yang mengubah tulisan yang dipegang si pengemis buta– dan orang-orang yang memberikan uangnya bagi pengemis buta tersebut. Kreativitas sang perempuan untuk mengubah tulisan yang dipegang si pengemis buta –dari “saya buta, silakan menyumbang” menjadi “Juve Merda” — adalah salah satu bentuk kekayaan lain yang tidak dimiliki oleh semua orang. Jeli mengakhiri komentarnya dengan mengatakan, beberapa cerita di buku ini apabila dibuat lebih panjang lagi seharusnya akan menjadi lebih menarik.

Peserta terakhir yang menyampaikan hasil pembacaannya adalah dr. Ronald Susilo. Dokter Ronald sepakat dengan apa yang disampaikan Rio sebelumnya bahwa buku ini memang harus dibaca sesuai dengan kondisi pembaca, sebab setiap kisah akan membuat masing-masing orang menangkap maksud penulis dengan sudut pandang yang berbeda-beda.

Ketika membaca kumpulan cerpen Puthut Ea ini, dr. Ronald justru tidak fokus terhadap isinya, melainkan pada teknik penulis menyampaikan cerita-cerita yang sangat ringkas dan bernas tersebut. “Barangkali tiap-tiap kita juga pernah mengalami hal yang sama akan tetapi mengalami kesulitan ketika mencoba menuangkannya dalam bentuk tulisan seperti ini. Puthut mengajarkan kita bahwa persoalan-persoalan di sekitar kita, bisa ditulis dengan sederhana,” tutur dr. Ronald.

Cerita-cerita di dalam buku ini kemudian mengingatkannya pada penulis idolanya, Putu Wijaya. Bagaimana dengan media yang sempit, penulis dapat mengisahkan sesuatu dengan lugas dan memberikan hentakan di akhir cerita. Setiap kisah di dalam buku ini memiliki klimaksnya masing-masing, meskipun hanya menghabiskan 250 – 750 kata.

Peserta Bincang Buku Kelakuan Orang Kaya

| Peserta Bincang Buku “Kelakuan Orang Kaya”

***

Tujuh orang yang hadir malam itu kemudian memberi Bintang 3,5 pada “Kelakuan Orang Kaya”. Bincang Buku selanjutnya akan berlangsung pada tanggal 30 Oktober 2019, membahas salah satu novel karya Intan Paramaditha: “Gentayangan, Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu”.

Sampai jumpa!


Baca tulisan Maria Pankratia lainnya di tautan ini. Jangan lupa, ikuti terus rekaman Bincang Buku Petra.

Komentar Anda?