Menu
Menu

Kebanyakan pencipta menderita kutukan Kassandra: para pembaca tak mau mendengarkan.


Oleh: Mario F. Lawi |

Menerjemahkan karya-karya sastra dari bahasa Latin, Italia dan Inggris untuk Bacapetra.co. Buku-buku terjemahannya yang telah terbit adalah Elegidia: Elegi-Elegi Pendek karya Sulpicia, satu-satunya penyair perempuan era Latin Klasik (2019) dan Puisi-Puisi Pilihan Catullus, penyair Latin Klasik pelopor puisi-puisi cinta (2019). Dua terjemahan terbarunya yang akan terbit adalah Dua Himne karya Sedulius, penyair Latin Kristen, dan Ecloga I  (diterjemahkan bersama Saddam HP) karya Vergilius, penulis epik Aeneis dan penyair Romawi terbesar dari era Latin Klasik.


“Vain was the chief’s and sage’s pride
They had no Poet and they dyd!
In vain they schem’d, in vain they bled
They had no Poet and are dead!”

—Horatius, Buku IV, Ode 9 (terjemahan Alexander Pope, 1733)

Bahasa adalah penyebut bersama kita.

Alfred Döblin, salah satu novelis terbesar abad kedua puluh, sekali waktu ditanya mengapa ia menulis: ia menjawab bahwa pertanyaan seperti itu adalah jenis yang ditolaknya untuk dijawab sendiri. “Buku yang selesai ditulis tidak menarik bagiku,” katanya, hanya buku yang sedang ditulis, “buku mendatang.” Bagi Döblin, menulis adalah tindakan yang menyaring masa depan kita melalui masa kini, aliran tetap bahasa yang mengizinkan kata-kata membentuk dan menamai realitas yang selalu ada dalam proses pembentukan. “Metode tak punya tempat dalam seni, ketololan lebih baik,” tulisnya dalam sepucuk surat kepada penyair Italia T. F. Marinetti, setelah Marinetti mengajukan, dalam surat kabar Figaro, 20 Februari 1909 bahwa seniman mengadopsi “metode futuris” untuk menerapkan keahlian mereka, melingkupi “tindakan, kekerasan, dan perubahan industrial.” “Jaga futurismemu,” Döblin memerintahkan koleganya yang tak dapat dikendalikan, “aku akan jaga Döblinismeku.” Namun, apa sebenarnya “Döblinisme” itu? Alfred Döblin pernah bekerja sebagai petugas kesehatan di angkatan bersenjata Jerman selama Perang Dunia Pertama sebelum membuka praktik sendiri di daerah kumuh di Jerman Timur, yang identitasnya ia gambarkan dalam novel terkenalnya, Berlin Alexanderplatz, tahun 1929. Ia seorang pria dengan kontradiksi-kontradiksi aneh: seorang Yahudi Prusia yang di akhir hidupnya menjadi bagian dari Revolusi Rusia, seorang psikiater yang mengagumi Freud tetapi meragukan dogma-dogma psikoanalisis, dan seorang pendukung sastra dengan semangat yang terus-menerus melanggar aturan-aturannya sendiri tetapi mencari mitologi dasar bagi karya fiksinya di dalam kitab-kitab tradisional Alkitab. Pokok persoalannya adalah identitas yang berubah dari dunia abad kedua puluh, tetapi pahlawannya adalah Ayub Perjanjian Lama yang jadi milik semua orang, menderita tetapi tidak lunak hati, bersuara tetapi tidak nyaring, teladan korban yang tak dapat dibenarkan. Pada 1933, di bawah ancaman rezim Nazi yang sedang bangkit, seperti kebanyakan intelektual Jerman lain, Döblin mencari suaka di Prancis bersama keluarganya dan, tujuh tahun kemudian, setelah pendudukan Paris, lolos ke Amerika Serikat lewat sebuah rute berbahaya melalui Spanyol dan Portugal. Di sana ia menerima tawaran sejumlah pekerjaan, termasuk menjadi penulis naskah di Hollywood: beberapa adegan dari Mrs. Miniver konon lahir dari tangannya. Namun Döblin merasakan begitu terkucil dalam keadaan eksilnya, tak dapat menemukan bahasa bersama di tempat penampungannya. Ketika seorang teman penulis yang tetap tinggal di Jerman selama tahun-tahun Nazi menuduh mereka yang keluar sebagai penikmat “kursi malas” emigrasi, Döblin menjawab: “Mengungsi dari satu negara ke negara lain – kehilangan semua yang Anda ketahui, semua yang merawat Anda, selalu mengungsi dan hidup bertahun-tahun sebagai pengemis ketika Anda masih kuat, tetapi Anda tinggal dalam keadaan eksil—seperti itulah “kursi malasku” tampak.”  Namun, bahkan dalam keterpencilan keadaan eksil, dalam kata-katanya sendiri, Döblin terus “dikekang oleh insting untuk menulis.”

Setelah perang, dari 1947-1956, Döblin menulis beberapa bukunya yang paling dahsyat tempat bahasa, bahasa Jerman yang nyeleneh, pada taraf tinggi, adalah protagonisnya: menunjukkan penyalahgunaan kekuasaan bertingkat dalam bentuk das Dritte Reich melalui penyalahgunaan makna bertingkat di Republik Weimar, dalam November 1918; menggemakan kejahatan-kejahatan terkini imperialisme dalam kosa kata barok abad ketujuh belas, dalam Trilogi Amazon; dan bahkan membayangkan masyarakat masa depan yang disembuhkan dari luka-lukanya dengan bahasa kritis psikoanalisis dalam Hamlet atau Malam Panjang yang Tak Berujung. Sedihnya, karya Döblin, dengan pengecualian Berlin Alexanderplatz, telah, secara luas dan tak patut, dilupakan. Namun demikian, saya percaya gagasannya tentang bahasa sebagai instrumen yang baik untuk membentuk dan memahami realitas tetap berlaku hari ini. Bahasa, bagi Döblin, adalah makhluk hidup yang tidak “menceritakan kembali” masa lalu kita, tetapi “mewakilinya”; “bahasa memaksa realitas untuk memanifestasikan dirinya, menggali ke kedalamannya dan memunculkan situasi-situasi mendasar, baik kecil maupun besar, tentang kondisi manusia.” Bahasa membiarkan kita tahu, dalam kenyataan, alasan kita ada bersama. Sebagian besar fungsi-fungsi manusiawi kita bersifat tunggal: kita tidak membutuhkan orang lain untuk bernapas, berjalan, makan, atau tidur. Namun kita membutuhkan orang lain untuk berbicara dan merefleksikan kembali apa yang kita katakan. Bahasa, menurut Döblin, adalah bentuk cinta kepada orang lain.

Bahasa, ketika muncul dalam prasejarah kita yang jauh, mungkin sekitar lima puluh ribu tahun lalu, sebagai metode komunikasi sadar, menuntut jadi instrumen bersama berdasarkan representasi umum dan konvensional dunia yang meminjamkan keyakinan pada sekelompok orang, betapa pun tidak pasti dalam buktinya, bahwa titik rujukan mereka sama dan bahwa ucapan mereka menerjemahkan realitas yang dipersepsikan sama.

Realitas dunia yang disulap melalui bahasa, kata para paleontolog, pertama kali disampaikan kepada kesadaran kita sebagai sesuatu yang ajaib: pada mulanya, kata-kata muncul ke hadapan kita dengan menguasai tidak hanya waktu tetapi juga tempat, seperti air atau awan. Psikolog Amerika, Julian Jaynes, berpendapat bahwa jauh setelah perkembangan bahasa, ketika tulisan ditemukan sekitar lima ribu tahun yang lalu, penafsiran tanda-tanda tertulis yang diproduksi dalam otak manusia merupakan persepsi aural atas teks, sehingga kata-kata yang dibaca masuk ke dalam kesadaran kita sebagai kehadiran fisik. Menurut Jaynes, “karena itu, membaca pada milenium ketiga SM mungkin merupakan masalah mendengarkan huruf paku, yaitu, mengkhayalkan ujaran dengan melihat simbol-gambarnya, daripada membaca suku kata secara visual seperti dalam pemahaman kita.” Bahasa, seperti pernah kita tahu, tidak hanya berupa nama tetapi juga menghadirkan realitas: sihir yang dicapai melalui kata-kata, dan melalui catatan kejadian-kejadian realitas yang kita sebut cerita.

Cerita, menurut Döblin, adalah cara kita merekam pengalaman kita tentang dunia, tentang diri kita, dan tentang orang lain. Ketika Ayub dalam penderitaannya mengingat hari-hari ketika cahaya Tuhan masih bersinar atasnya, dan menyatakan bahwa, dalam kondisi sehat, “Akulah mata bagi si buta dan kaki bagi si lumpuh,” ingatan yang dikisahkan kembali itu tak cukup: Ayub berharap dapat menempatkan pengalamannya sebagai sebuah cerita, sebagai kesaksian iman. “Oh, sekarang kata-kataku ditulis!” katanya dalam ratapan, “oh, kata-kataku dicetak dalam buku!” Seperti Ayub, dan penulis Kitab Ayub, tahu, cerita menyaring pembelajaran kita dan meminjamkannya bentuk naratif, sehingga melalui variasi nada dan gaya dan anekdot kita dapat mencoba tidak melupakan apa yang telah kita pelajari. Cerita adalah ingatan kita, perpustakaan adalah ruang penyimpanan ingatan itu, dan membaca adalah keterampilan yang dengannya kita dapat menciptakan kembali ingatan itu dengan membaca dan mengusapnya, dengan menerjemahkannya kembali ke dalam pengalaman kita sendiri, dengan membiarkan diri kita membangun hal-hal di atasnya yang menurut generasi sebelumnya cocok untuk dilestarikan. Pada pertengahan abad kedelapan belas, Rabi Uri dari Strelisk bertanya: “Daud adalah orang berbakat, mampu menciptakan mazmur. Aku? Apa yang dapat kulakukan?” Jawabannya: “Aku dapat membacanya.” Membaca adalah tugas ingatan di mana cerita memungkinkan kita menikmati pengalaman masa lalu orang lain seolah itu pengalaman kita.

Dalam keadaan tertentu, cerita dapat membantu kita. Cerita kadang dapat menyembuhkan kita, menerangi kita, menunjukkan jalan kepada kita. Di atas segalanya, cerita dapat mengingatkan kita tentang keadaan kita, menerobos penampilan hal-hal dangkal, dan membuat kita sadar akan arus dan kedalaman yang mendasarinya. Cerita dapat mengasupkan makanan bagi kesadaran kita, yang dapat mengarahkan pada kemampuan mengetahui, jika bukan siapa kita, setidaknya bahwa kita ada, kesadaran penting yang berkembang melalui konfrontasi dengan suara orang lain. Jika harus dirasakan, seperti Rabi Uri yang terkenal itu, Uskup Berkley, mengatakan (dan terlepas dari semua upaya untuk mereduksi pengamatannya sebagai hal absurd, hal itu tetaplah kebenaran yang dialami setiap hari), maka mengetahui bahwa kita ada membutuhkan pengetahuan tentang orang lain yang kita persepsikan dan memersepsikan kita. Beberapa metode lebih cocok untuk tugas saling memersepsikan ini daripada metode bercerita.

Memimpikan cerita, bercerita, mengubah cerita jadi tulisan, membaca cerita, adalah seni pelengkap yang meminjamkan kata-kata bagi kesadaran kita terhadap realitas, dan dapat bertindak sebagai pembelajaran yang mewakili, sebagai transmisi ingatan, sebagai instruksi atau peringatan. Dalam bahasa Anglo-Saxon kuno, kata untuk penyair adalah “maker” (pencipta), istilah yang menggabungkan makna menenun kata-kata dengan membangun dunia material. Definisi tersebut punya akar biblikal. Menurut bab 2 Kitab Kejadian, setelah menciptakan Adam dari debu, Tuhan menciptakan unggas di udara dan binatang-binatang di padang, dan membawa mereka kepada Adam untuk mengetahui ia akan memanggil mereka apa, “dan panggilan apa pun yang dikeluarkan Adam kepada setiap makhluk hidup, itulah nama mereka.” Karunia penamaan ini ambigu. Apakah Adam harus menemukan nama untuk setiap makhluk, atau ia harus mengetahui nama mereka dan meneriakkannya, seperti seorang anak kecil memanggil seekor anjing atau burung untuk pertama kalinya? Para komentator Talmud belakangan memadukan kedua anggapan tersebut menjadi satu. Mereka berpendapat bahwa Adam adalah penemu tulisan, dan dengan keahliannya ia menciptakan nama-nama yang ia ucapkan, tidak berdasarkan keinginannya melainkan berdasarkan sifat asli setiap makhluk, seperti para penyair yang menemukan kata-kata yang tepat untuk apa yang ingin mereka gambarkan. Menurut para komentator Talmud, begitulah kekuatan karunia kata-kata sehingga Adam tidak hanya meminjamkan hewan-hewan konfirmasi tentang keberadaan mereka dengan menamai mereka, tetapi juga jadi orang pertama yang menamai kelompok manusia. “Tuhan menunjukkan seluruh bumi kepada Adam,” bunyi sebuah keterangan Alkitab awal, “dan Adam menentukan tempat apa yang kemudian akan dihuni, dan tempat mana yang tetap diabaikan.” Döblin menambahkan komentar terhadap refleksi kuno ini: “Adam adalah jumlah total manusia yang bergerak melintasi waktu dan berkembang di dalamnya.” Kata-kata Adam, kata-kata kita, memberikan kita tempat dalam ruang dan waktu. “Kadang,” tulis penyair Eric Ormsby, “aku merasa bahwa kata-kata mengelola sendiri kehidupan pribadi mereka, terpisah dari kita, dan ketika kita berbicara atau menulis, khususnya dalam keadaan-keadaan dengan emosi kuat, kita melakukan agak lebih banyak dari sekadar menumpang pada suku kata yang penurut atau frasa yang akomodatif.”

Kata-kata tidak hanya memberikan kita kenyataan; mereka juga mempertahankannya untuk kita. Di Abad Pertengahan, para penyair Irlandia harus dapat melindungi ladang-ladang gandum dan serealia dari hama dengan “menyajakkan tikus sampai mati” yakni dengan membacakan puisi di ladang tempat tikus bersarang. Pada abad keenam belas, Tulsi Das, penyair India terbesar, pengarang salah satu versi Ramayana yang terdapat epik Hanuman dan pasukan monyetnya, Ramacaritamanasa, dihukum oleh sang raja untuk dikurung dalam sebuah menara batu. Sendiri di dalam penjaranya, Tulsi Das mengucapkan puisinya keras-keras dan dari pengucapan itu Hanuman dan pasukannya bangkit, menyerbu menara dan membebaskan pencipta mereka. Pada 1940, enam belas tahun setelah kematian Kafka, Milena, wanita yang sangat ia cintai, dirampas oleh Nazi dan dikirim ke kamp konsentrasi. Hidupnya sekejap jadi terbalik: bukan kematian, yang adalah kesimpulan, melainkan keadaan yang gila dan tak berarti dari sebuah penderitaan yang mengerikan, dihasilkan lewat kesalahan tak jelas dan menyuguhkan akhir tak tampak. Mencoba selamat dari mimpi buruk itu, seorang teman Milena merancang sebuah metode: dia akan mengunjungi buku-buku yang telah ia baca dan secara tak sadar tersimpan dalam ingatannya. Salah satu yang diingatnya adalah “Seorang Pria Telah Lahir” karya Maxim Gorki. Cerita itu berkisah tentang bagaimana si narator, seorang bocah, suatu hari berjalan-jalan di suatu tempat di sepanjang pantai Laut Hitam, bertemu seorang wanita kampung yang menjerit kesakitan. Wanita itu sedang hamil; ia melarikan diri dari kelaparan di kampung halamannya, dan sekarang, ketakutan dan sendirian, ia akan melahirkan. Terlepas dari protesnya, si bocah membantunya. Si bocah memandikan si bayi merah di laut, membuat api, dan menyiapkan teh. Di akhir cerita, si bocah dan si ibu mengikuti sekelompok orang kampung: dengan satu tangan, si bocah menopang si ibu; dengan tangan lain, ia menggendong si bayi. Bagi teman Milena, cerita Gorki menjadi suaka kecil dan aman tempat ia bisa menarik diri dari kengerian sehari-hari. Cerita itu tidak meminjamkan makna bagi penderitaannya, tidak menjelaskan atau membenarkannya; bahkan tidak menawarkan harapan akan masa depan. Cerita itu hanya hadir sebagai titik keseimbangan, mengingatkannya akan cahaya di saat bencana gelap, membantunya untuk bertahan. Saya percaya, seperti itulah kekuatan cerita.

[nextpage title=”Bag. 2″]
Para pencipta membentuk sesuatu menjadi ada, memberinya identitas intrinsik. Hening di sudut tempat kerja mereka, terhanyut dengan arus manusia lainnya, para pencipta merefleksikan kembali dunia dalam keruntuhan dan perubahan yang tetap, dan dalam diri mereka terpantul bentuk masyarakat kita yang tidak stabil, menjadi apa yang disebut penyair Nikaragua Rubén Darío “penangkal petir surgawi” dengan bertanya terus-menerus “Siapakah kita?” dan dengan menawarkan hantu jawaban dalam rumusan pertanyaan itu sendiri. Hal ini menjadikan pencipta sosok yang mengganggu dalam masyarakat yang mencari, dengan segala cara, stabilitas dan efisiensi untuk mencapai keuntungan ekonomi setinggi mungkin. Jorge Luis Borges, dalam utopia Swiftian yang ia bayangkan di akhir hidupnya, pada 1970, ketika ia tua dan kecewa dengan dunia, menggambarkan peran para pencipta dalam rumusan berikut:

“Kostum lain suku adalah para penyair. Seorang pria memutuskan untuk membariskan enam atau tujuh kata-kata teka-teki. Ia tak dapat menahan diri dan meneriakkan kata-kata tersebut, berdiri di tengah-tengah lingkaran yang dibentuk oleh para dukun dan orang-orang biasa ketika mereka telentang di tanah. Jika puisi tersebut tidak memuaskan mereka, tak ada yang terjadi; tetapi jika kata-kata si penyair menggerakkan mereka, mereka semua akan menjauh darinya, diam-diam, dengan ketakutan sakral. Mereka merasa bahwa ia telah disentuh oleh roh; tak ada yang akan berbicara dengannya atau menatapnya, bahkan ibunya sendiri. Ia bukan lagi manusia, melainkan dewa, dan siapa pun dapat membunuhnya.”

Döblin merasakan betapa kuat perasaan “dihukum” oleh sastra ke kondisi terendah. Dalam Petualangan Takdir, laporan perjalanan dan pengasingannya dari Jerman Hitler, Döblin menulis pengalaman keterasingannya:

Saya merasa jadi seperti tanaman yang tumbuh di tanah, mengambil sari-sari makanan di sana-sini dan tetap seperti saya apa adanya. Saya tidak pernah serius mengecek apa yang mendorong saya untuk menginginkan sesuatu. Saya didorong, dan berasumsi sembarangan bahwa sayalah yang menjadi kekuatan pendorongnya. Saya tak pernah peduli dengan klaim jadi apa diri saya, atau apa yang diinginkan atau tak diinginkan. Secara sadar, Sokrates mengajarkan: Kenalilah dirimu! Tetapi bagaimana saya dapat mengenali diri saya jika saya serentak adalah yang mengetahui dan yang ada untuk diketahui? Saya selalu memperhatikan diri, mengobservasi dan menilai hal-hal secara kritis dan mengumpulkan pengalaman, dan ketika saya sekarat saya akan melindungi diri saya dari perasaan yang saya anggap lemah. Saya aktif, bergerak di antara orang-orang selama bertahun-tahun, saya adalah orang seperti mereka, makhluk kecil, seekor mikroba yang bergerak di air bersama jutaan lainnya.

Kita harus mengajukan kualifikasi atau protes untuk karya yang menawarkan membangun realitas dari kata-kata. Hal ini menyangkut dua metode atau teori berbeda dalam mendefinisikan masyarakat dan identitasnya, dan sebagai konsekuensinya, masing-masing warganya. Sebuah teori mengasumsikan bahwa bahasa kreatif dan realitas ciptaan, kenyataannya, adalah entitas epistemologis yang terpisah, dan bahwa, jika yang pertama (puisi atau cerita) menguraikan sistem pengetahuan melalui intuisi dan analogi imajinatif, yang kedua (politik dan berbagai cabangnya, termasuk ekonomi dan hukum) melakukannya secara empiris, dan karena itu memiliki nilai praktis dan material yang lebih besar. Teori kedua menyatakan bahwa kedua entitas (sastra dan politik) saling terkait, dan penemuan cerita dan pembangunan negara bergantung satu sama lain secara menguntungkan. Döblin sepenuhnya menyadari persoalan yang sangat kuno ini.

Aristoteles, dalam buku kedua Politik, mendiskusikan tentang enam jenis sistem politik yang ia bayangkan untuk enam kasta warga berbeda, mengingatkan bahwa sistem-sistem ini memerlukan seperangkat nilai simbolik untuk berkembang; artinya, perancah simbolik yang digunakan untuk membangun kota yang akan menampung mereka. Orang pertama yang menyadari hal ini, kata Aristoteles, adalah sang arsitek Hippodamos dari Miletos, sezaman dengan Perikles yang, meski tak tahu apa-apa soal politik, dapat menggambarkan peta sebuah negara-kota yang ideal. Kota Hippodamos merefleksikan cita-cita demografik Yunani: jumlah penduduk terbatas yang dibagi berdasarkan peran yang mereka miliki dalam masyarakat. Patriarkis, karena wanita tak punya kekuatan memimpin; demokratis, dalam pengertian bahwa perkara-perkara negara diperdebatkan di depan publik; militer tetapi tidak ekspansionis, karena negara ideal menurut definisinya adalah ruang terbatas, dirancang untuk kebahagiaan bukan untuk semua orang, melainkan untuk warga terpilih yang ditakdirkan lahir di atas tanah tersebut, dan karena itu dibenarkan memperbudak orang lain bekerja bagi mereka. Untuk melayani gagasan metropolitan ini, kota dibagi menjadi beberapa bagian berbeda—para pedagang, para hakim, dan lain-lain—dikelompokkan di sekitar agora pusat. Setiap bagian pada gilirannya disusun dalam blok-blok rumah yang masih jadi model kota-kota kita saat ini. Menghadapi pola seperti ini, orang luar dapat menduga tujuan kota: pendirian entitas sosial yang terbatas pada dirinya sendiri, segregasionis dan konservatif, diperuntukkan untuk sedikit yang bahagia. Gagasan awal kita tentang kebangsaan adalah gagasan tentang privilese.

Kota yang paling terkenal dari antara kota-kota kuno ideal, Atlantis, menunjukkan konsep yang sama. Menurut Platon, kota Atlantis terletak di tengah dataran tinggi, dikelilingi oleh cincin-cincin konsentris dari tanah yang satu sama lainnya dipisahkan oleh kanal-kanal yang dalam. Inti utama cincin pertama dilindungi oleh dinding yang lebar, dan berisi kursi-kursi kekuasaan: benteng, Istana Kerajaan, dan Kuil Poseidon; dengan kata lain, kursi-kursi tentara, pemerintah, dan agama. Cincin pertama dipisahkan dari yang kedua oleh sebuah kanal yang berfungsi sebagai pelabuhan interior, yang memungkinkan akses ke bagian militer: cincin kedua, dengan barak, gimnasium, dan lintasan balap, melengkapi yang pertama. Kanal lain memisahkan bagian kedua dari yang ketiga, yang dijatahkan untuk pelabuhan utama Atlantis. Akhirnya, satu kanal terakhir membagi pelabuhan dari cincin keempat atau terluar, yang menampung wilayah pedagang. Kota Platon adalah cermin fisik dari tatanan sosial, dan baginya, seperti bagi Hippodamos, tempat utopis harus sesuai persis dengan gagasan utopis. Dengan kata lain, kota mesti merupakan refleksi dari cerita tentangnya.

Namun, bagi Platon, sementara konstruksi simbolis atau sastra harus berfungsi sebagai cetak biru kota, imajinasi sastra apa pun yang tidak mengarah pada realisasi nyata negara yang dijalankan secara sempurna tidak memiliki tempat dalam definisinya tentang masyarakat. Karena itulah, para penyair, pencipta yang membangun bukan “hal nyata” tetapi khayalan pengganti apa yang nyata, harus dibuang. Platon meminjamkan kata-kata kepada Sokrates untuk menjelaskan hal ini. Akal budi, kata Sokrates, menahan filsuf untuk menyingkirkan puisi dari negara ideal. “Kita mesti mengetahui kebenaran,” ia akui dengan agak enggan, karena ia menyukai puisi Homeros, yang juga harus diasingkan dari Republik yang diperintah dengan baik, “bahwa kita tak dapat menerima puisi di kota kita, simpanlah himne untuk para dewa dan puji-pujian orang-orang baik. Karena jika kau mengizinkan Musa yang manis dalam lirik dan epik, kesenangan dan rasa sakit akan menjadi penguasa kotamu alih-alih hukum dan hal yang, dari waktu ke waktu, dianggap terbaik demi alasan umum.” Hukum dan peraturan, demi efisiensi, menguasai kota Platon, dan puisi (sastra pada umumnya) tidak memiliki tempat di dalamnya kecuali “dapat ditunjukkan bahwa ia memberikan tidak hanya kesenangan tetapi juga manfaat.” Platon (Sokrates-nya Platon) tampaknya berpikir bahwa realitas yang diciptakan oleh kata-kata berbahaya karena bukan realitas yang diinginkan, dan merupakan kreasi imajinasi, karena menggambarkan gambaran yang sebagian besar tidak menyenangkan tentang kita dan para dewa, tidak boleh dibiarkan di dalam negara-kota yang semua ceritanya harus memperingatkan atau meninggikan. Sebagian besar waktu, penyair mengidentifikasi diri dengan dosa dan salah manusia, dan mengabaikan kualitas-kualitas lebih tinggi yang harusnya tampak membosankan untuk dibandingkan bagi pendengar mereka. Dan bahkan ketika puisi mereka menggambarkan kebaikan dan kebajikan, penyair hanya meniru kualitas-kualitas tersebut tanpa benar-benar mencapainya. Kebanyakan pembaca, Platon mengingatkan, tinggal di permukaan teks, senang dengan kemarahan Akhilles atau kecerdikan Odysseus, menikmati rasa sakit Hekabe dan pengorbanan Iphigeneia, tanpa berusaha menjangkau pencerahan yang mungkin melalui penggambaran-penggambaran tersebut. Tentang ingatan yang mewakili dan pengetahuan implisit dalam cerita, Platon (menyebut mereka sebagai tak diinginkan) menambahkan kebahagiaan dan penderitaan yang mewakili, kebaikan dan kejahatan. Menurut Platon, identitas yang diberikan oleh cerita sama labil dan sewenang-wenangnya seperti topeng yang dipakai.

Platon benar, tetapi tidak sepenuhnya. Para pendengarnya, dan ratusan generasi pembaca yang menggantikannya, pada umumnya telah mencari beberapa bentuk dalam sastra, jika bukan hiburan menenangkan, setidaknya pengalaman dunia dari tangan kedua, pelajaran tanpa tindakan dan kepuasan tanpa pencapaian. Lebih dekat dengan zaman kita, Carl Gustav Jung, dalam pembacaannya yang tajam tentang Kitab Ayub, bersikeras bahwa pemenuhan dan pembelajaran yang lebih dalam dimungkinkan melalui cerita. Menurut Jung, dalam kisah Alkitab, Tuhan menanggung risiko dengan membiarkan Ayub menjadi korban Iblis, aktor pasif penderitaan dunia. Ayub sendiri sebaliknya menghadirkan kedua sisi pertanyaan, sebagai saksi dan sebagai penerima kemurahan dan ketidakadilan Tuhan. Hanya ketika Tuhan, sebagai “pembaca” kata-kata yang Ayub harapkan “sekarang telah ditulis”, dihadapkan dengan resitasi Ayub, cerita membentuk lingkaran penuh: Allah Pencipta belajar melalui pengalaman salah satu ciptaan-Nya, melalui seorang lelaki yang cukup baik untuk menjadi “mata bagi si buta, dan kaki bagi si lumpuh.” Inilah juga pembacaan Döblin atas Kitab Ayub: bahwa, seperti Tuhan milik Ayub, setiap pembaca memiliki kemungkinan yang mencerahkan ini pada akhirnya. Tidak setiap pembaca, tentu saja, beruntung: kebanyakan pembaca memilih untuk tetap aman di sisi halaman ini. Tetapi kadang epifani terjadi. “Saya membaca,” tulis Döblin, “seperti nyala membaca kayu.” Bacaan yang sangat menyita, yang mengubah realitas adalah milik Rabi Uri dari Strelisk, yang akan membangun pengajarannya sendiri tentang kata-kata Raja Daud; milik Tulsi Das, yang akan diselamatkan makhluk-makhluk karangannya; milik teman Milena, yang akan menemukan makna selamat di dalam imajinasi Gorki; milik para pembaca Alfred Döblin, yang akan menemukan identitas mereka yang selalu berganti di dalam cermin-cerminnya.[nextpage title=”Bag. 3″]

Döblin sepenuhnya sadar bahwa pengamatan sastra dan penilaian kritis, betapa pun diekspresikan dengan jelas dan dilakukan secara imajinatif, tak akan pernah menjanjikan wahyu, dan bukunya yang paling terkenal, Berlin Alexanderplatz, tak pernah berusaha berdebat, hanya meyakinkan dengan menunjukkan. Berlin Alexanderplatz adalah mahakarya yang besar dan kompleks, yang, seperti Ulysses James Joyce, yang diterbitkan tujuh tahun sebelumnya, melacak arus permukaan dan arus terpendam sebuah kota dengan mengikuti kasus pembunuhan Franz Biberkopf setelah pembebasannya dari penjara. Biberkopf adalah Ayub yang jauh-tidak-bersalah (yang kitabnya dikutip banyak kali dalam novel), subjek godaan dan kemalangan, samar-samar tertarik pada propaganda Nazi, dan tidak terikat pada siapa pun atau apa pun. “Saya tidak menyulapnya untuk bersenang-senang,” tulis Döblin, “tetapi untuk membagi eksistensinya yang keras, sejati dan mencerahkan.” Dari eksistensi tunggal tersebut, mungkin untuk membangun identitas jamak yang muncul dari deret ukur orang lain yang dipantulkan. “Seseorang lebih kuat dariku,” kata Biberkopf. “Jika ada dua dari kita, jadi kian sulit untuk jadi lebih kuat dariku. Jika ada sepuluh, tetap lebih sulit. Dan jika ada seribu, sejuta, maka akan jadi sangat, sangat sulit!”

Pada 1945, Döblin kembali sebagai pegawai pendidikan yang ditugaskan ke Jerman dari pengasingannya di Amerika, dan beberapa tahun setelahnya memberi serangkaian ceramah di mana ia berusaha menghadapi orang-orang sebangsanya yang kalah dengan citra identitas mereka yang porak-poranda. Bagi Döblin, satu-satunya cara agar Jerman dapat pulih setelah Hitler adalah dengan menemukan identitas kolektif yang melipatgandakan kebebasan pribadi dengan “objektivitas kejam”. Berbicara di Berlin pada 1948, Döblin mengatakan kepada para pendengar Jermannya: “Anda harus duduk di dalam reruntuhan untuk waktu yang lama dan membiarkannya memengaruhimu, dan merasakan sakit dan penghakiman.” Melaporkan ceramah Döblin, para jurnalis mengeluh bahwa mereka sudah terlalu sering mendengarkan argumentasi seperti itu, dan bahwa “itu tidak membantu sedikit pun meski dikatakan oleh penulis terkenal dan tamu yang jarang berkunjung.” Döblin menjawab: “Anda belum mendengarnya. Dan jikapun Anda mendengarnya dengan telinga, Anda tidak memahaminya, dan Anda tidak akan pernah paham karena Anda tak mau.” Seperti Döblin tahu, dalam sebagian besar kasus peran pencipta adalah milik Kassandra, pendeta wanita Yunani yang kepadanya Apollon memberikan karunia nubuat dengan syarat bahwa tak ada yang akan memercayainya. Kebanyakan pencipta menderita kutukan Kassandra: para pembaca tak mau mendengarkan.

Menurut sumber Homerik, Kassandra adalah putri Priamos dan Hekabe. Pengarang-pengarang setelahnya (termasuk Pindaros dan Aiskhylos) mengisahkan kepada kita bahwa ketika Kassandra dan saudaranya Helenos masih bayi, Hekabe melupakan mereka di kuil Apollon. Ketika mereka tertidur, ular-ular keramat Apollon datang dan menjilat telinga mereka: sejak saat itu, mereka mendapat karunia ramalan. Sumber lain mengatakan bahwa Apollon sendirilah yang memberi Kassandra karunia tersebut sebagai imbalan janji bersetubuh dengan Apollon. Kassandra menerimanya, tetapi setelah mereka berhubungan, Apollon minta satu ciuman tambahan; ketika ia memalingkan wajahnya pada Apollon, Apollon meludahi mulutnya, kejadian itu memastikan tidak akan ada yang percaya padanya. Selama pengepungan Troia, Kassandra memperingatkan orang-orang Troia tentang Kuda Kayu dan orang-orang Yunani dan bernubuat tentang kejatuhan kota. Kemudian, ia menjadi bagian dari rampasan Agamemnon dan melahirkan dua putra untuknya. Setelah Agamemnon dibunuh oleh Aighisthos, kekasih istrinya, Klytaimnestra, Kassandra dan putra kembarnya dibunuh oleh Klytaimnestra sendiri.

Karena Kassandra dan saudaranya dilupakan oleh ibu mereka, mitos menyatakan, mereka tidak sama seperti sisa anak-anak Hekabe yang lain. Dalam bahasa mitos, sebagai konsekuensi atas pembedaan sembrono ini, individualitas Kassandra disodorkan padanya ketika masih kecil. Ia harus belajar menghidupi dirinya sendiri dan tidak bergantung pada ajaran kakak-kakaknya. Karunia dewata yang ia terima, baik dan buruk, adalah miliknya, bukan hal-hal yang dikehendaki orang tuanya. Sendirian, ia harus mendefinisikan dirinya dan keterikatannya, sendirian ia mesti memahami orang-orang di dalam dan di balik tembok-tembok kotanya, sendirian ia mesti membayangkan “rumah” apa yang dibangun dan kisah-kisah apa yang akan terjadi di “rumah” ini—semuanya tidak berdasarkan pada apa yang dikatakan sebagai miliknya, melainkan pada apa yang ia pilih untuk diidentifikasi sebagai miliknya. Kassandra tidak berbicara berdasarkan pengetahuan yang diterima, melainkan berdasarkan imajinasi unik tentang realitas yang kemudian ia terjemahkan menjadi narasi. Anugerah Apollon membenarkan singularitas ini: bekerja dari kata-kata awam, Kassandra harus membayangkan pandangannya sendiri tentang dunia, yang tak ingin dilihat oleh kawan-kawan Troianya. Kassandra tahu, tanggung jawabnya bukan untuk meyakinkan, tetapi semata untuk menyampaikan. “Kebisuanku tak dapat menjaganya tetap hidup,” isaknya dalam Oresteia karya Aiskhylos, ketika Khoros menyalahkannya karena mengumumkan pembunuhan Agamemnon. “Bahasa Yunaniku jelas tetapi tetap tak ada orang yang percaya.” Yang dijawab Khoros: “Semua peramal bicara bahasa Yunani dan semuanya gelap.” Penyair, peramal, hanya dapat bekerja dengan sebuah bahasa bersama, tetapi ditempa dengan tajam sehingga, pada kondisi terbaiknya, tampak di hadapan para pembaca sebagai “gelap”, karena bahasa tersebut menolak penjelasan ringkas apa pun. Inilah kekayaan dan kesulitan besar sastra: ia bukan dogma. Sastra menyatakan fakta, tetapi tidak memberikan jawaban-jawaban pasti, tidak menyatakan dalil-dalil mutlak, tidak menuntut asumsi-asumsi yang tak dapat dibantah, tidak menawarkan identitas-identitas berlabel. Kata-kata Kassandra, kedalaman pandangannya, kejernihan pikirannya (karena benar secara puitis dan tak dapat disampaikan sebagai slogan-slogan sederhana) adalah apa yang melabelinya sebagai seorang pencipta, dan menghukumnya dan anak-anaknya dengan pembinasaan.

Seperti yang dialami Döblin sendiri, penyingkiran Platon terhadap semua Kassandra, terhadap semua penyair dari Republik, adalah ukuran yang sejak saat itu digunakan kembali oleh pemerintah yang tak terhitung banyaknya: diwujudkan dalam Jermannya Hitler melalui pembakaran simbolis buku-buku yang merusak pada 10 Mei 1933, termasuk buku-buku Döblin. Sebagai masyarakat, kita tahu fungsi utama para pencipta adalah untuk menerangi, terus-menerus membujuk kita, para pembaca, untuk mendefinisikan apa-apa yang kita percaya, memperluas definisi kita, dan mempertanyakan jawaban-jawaban kita, tetapi pada saat yang sama, karena takut akan gangguan dan ketidakpastian, kita berusaha merendahkan peran pencipta seperti yang dilakukan para pembual, menyamakan fiksi dengan kebohongan dan mempertentangkan seni dengan realitas politik: meludah, seperti sebelumnya, ke dalam mulut Kassandra.

Diejek, digambarkan sebagai tidak normal, diasingkan sampai mati: itulah nasib bagi masyarakat yang menghukum para pencipta sejatinya. Bahkan mereka yang dipuja, diabadikan, dan diberikan hadiah dan penghormatan, dalam banyak kasus, ditakdirkan untuk tetap tak didengarkan. Sebelum mati, Kassandra berkata kepada Khoros, kali ini menawarkan bukan ramalan tentang tragedi mereka, melainkan gambaran yang luar biasa, yang mencakup keberadaannya, yang jika diperluas, adalah juga keberadaan kita:

Inilah kehidupan
Jam-jam paling beruntung
Seperti coretan kapur
Di batu tulis di ruang kelas.
Kita tatap
Dan coba pahami.
Lalu keberuntungan berbalik—
Dan segalanya dihapus.

Mungkin tugas setiap penyair-pencipta sejati adalah untuk terus-menerus menulis di batu tulis setelah “segalanya dihapus”. Keabadian yang dituntut oleh pencipta garis apa pun yang karena alasan tak terduga menggerakkan kita, menunjukkan bahwa, di luar kehendak pembaca kita dan dalam batasan masyarakat, sastra dapat membangun realitas yang lebih tahan lama daripada daging dan batu, seperti ratapan Kassandra karena kehilangan kehidupan, atau fresko Döblin yang bermasalah tentang masyarakat di tahun-tahun sebelum das Dritte Reich.

Melarat, diasingkan, kehilangan buku-buku dan teman-temannya, Döblin menyimpulkan dalam catatannya, misinya sebagai pencipta, sebagai seseorang yang mencoba merefleksikan kembali kepada pembaca “makna asli” dari berbagai hal melalui kata-kata. Sadar bahwa, seperti Kassandra, cerita-ceritanya tidak melakukan apa pun untuk mencegah bencana sejarah, Döblin menemukan bahwa tugasnya tidak sia-sia, hanya tidak lengkap:

Ketika saya duduk di sini sekarang, saya menemukan bahwa malapetaka tidak merenggut saya, melainkan mengungkapkan diri saya. Saya diuntungkan kemiskinan. Salah satu hasil akhir dari ‘makna asli’: keadilan adalah miliknya. Bukan hanya dunia alami yang dibangun dengan sengaja, tetapi juga peristiwa, sejarah. Kedalaman sejarah yang sejati tak dapat kita akses. Dan jika saat ini tak ada tanda keadilan—dan keadilan adalah satu-satunya hal yang saya miliki sebagai akibat bencana dan penyingkapan kemiskinan saya—maka saya harus menyadari bahwa ini bukan satu-satunya dunia.

Selanjutnya, Döblin mengatakan bahwa kurangnya keadilan di dunia membuktikan keberadaan realitas lain. Ia, meski berubah, tidak sedang berbicara tentang hidup setelah mati yang teologis atau keangkuhan-keangkuhan metafisis. Ia tidak sedang mengacu pada keadaan tak terlukiskan yang berada di luar batas inderawi kita. Ia sedang berbicara tentang keterampilan, pembuatan cerita, yang darinya, ia berkata, “perlambang dan kebetulan dan tanda-tanda mengalir ke dunia yang tampak.” Döblin menyebut gerakan ini “semacam ‘pelunakan’ realitas” yang menjadi “transparan” dalam penceritaan. Label apa pun, segala realitas, tetap maupun dipaksakan, yang berupaya menyegel realitas dalam kafan dogma, dapat dilarutkan lewat penerapan kata-kata inspiratif.

“Transparansi” yang Döblin bicarakan adalah gagasan yang aneh. Bahasa, justru karena ambiguitasnya yang tak menentu, berusaha meyakinkan kita, para penggunanya, tentang akurasi dan bobotnya dengan menyatakan sendiri sebuah penegasan absolut, sistem pembekuan dunia menjadi keadaan yang tetap. Inilah hukum Baker, dalam karya Lewis Carroll berjudul The Hunting of the Snark: “Apa yang tiga kali saya katakan kepadamu adalah benar.” Tentu saja, terlepas dari asumsi populer ini, setiap penggunaan bahasa membuktikan sebaliknya: bahwa bahasa menangkap kenyataan bukan dengan mengubahnya menjadi batu melainkan dengan merekonstruksinya secara imajinatif, melalui alusi, inferensi, sugesti, melalui “perlambang dan kebetulan dan tanda-tanda” Döblin, sebagai sesuatu yang bergerak secara permanen, yang pada akhirnya tak terpahami: sesuatu yang “transparan”. Karena itulah, bahasa tak dapat melayani perintah kekuasaan, politik, agama atau komersial, kecuali sebagai katekismus pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban pasti karena, di samping pretensinya terhadap presisi, bahasa tak pernah bisa menyetujui apa pun yang tanpa batas. Kita “melihat melalui” realitas yang disampaikan bahasa, lapis demi lapis, seperti dalam pembersihan palimpsest, sehingga pembacaan cerita kita menjadi tak berkesudahan, setiap cerita merujuk ke atau menyarankan tempat-tempat yang lain di baliknya, tak pernah membiarkan dirinya berdiri sendiri sebagai kebenaran tertinggi. Dalam keterampilan: “Berdasarkan peraturan permainan, saya harus selalu berbohong. Sekarang: apakah engkau memercayai saya?”

Inilah paradoksnya. Di satu sisi, bahasa politik, yang dimaksudkan untuk membahasakan kategori nyata, justru membekukan identitas menjadi definisi statis, memisahkan tetapi gagal mengindividualisasi. Bahasa puisi dan cerita, di sisi lain, yang mengakui ketidakmungkinan penamaan secara akurat dan definitif, mengelompokkan kita di bawah kemanusiaan bersama dan cair sambil memberikan kita, pada saat yang sama, identitas yang menyatakan diri. Dalam kasus pertama, label diberikan kepada kita dengan paspor dan gambar konvensional tentang siapakah kita yang harus berdiri di bawah bendera tertentu dan dalam batas tertentu, serta pandangan tertutup yang pada gilirannya kita arahkan ke orang-orang yang tampak berbagi bahasa, agama, bidang tanah tertentu, menyematkan kita semua pada peta berwarna yang dilintasi garis bujur dan lintang imajiner yang kita bawa ke dunia nyata. Dalam kasus kedua, tak ada label, tak ada batas, tak ada tepi.

“Dalam sejarah, pada titik ini,” tulis Döblin pada 1948, “orang-orang berkewajiban untuk mengatur diri mereka menjadi bangsa-bangsa, dan bergabung dengan bangsa-bangsa lain seperti mereka. Namun pada saat kebutuhan ini diwujudkan, dan garis demarkasi antara sebuah bangsa ketiga ditarik, kebutuhan ini dicampur dengan kecenderungan untuk mengukur diri sendiri dengan bangsa ketiga dan keempat dan mendominasi mereka—meski ada yang tahu, atau harusnya tahu, betapa sedikit kita yang jadi tuan atas nasib kita sendiri. Dan sekali lagi di lautan sejarah ombak menerjang, tetapi hanya menabrak daratan untuk dikembalikan, bergelombang, ke laut.”

Döblin tinggal di Paris pada 1951, kecewa dengan teman-temannya. Enam tahun kemudian, ia kembali ke Jerman hanya untuk wafat di panti jompo di Baden-Württemberg, tetapi sesuatu dalam tulisannya menunjukkan bahwa ia mungkin tidak merasa sepenuhnya dikalahkan. Di suatu tempat dalam halaman-halaman Berlin Alexanderplatz yang beragam, Franz Biberkopf mengadakan pertemuan santai dengan seorang Yahudi Timur yang secara misterius tampak memahami pencarian Biberkopf akan identitas yang lebih dalam dan sehat, dan yang menyarankan kepadanya bahwa penyembuhan mungkin dicapai, setidaknya sebagian, melalui cerita. “Bagian terpenting bagi seorang pria adalah  kaki dan matanya,” jelas si Yahudi pengelana. “Kau harus dapat melihat dunia dan pergi ke sana.” Cerita, menurut Döblin, menggemakan klaim menyedihkan Ayub ketika hari-hari lebih baik, membantu orang lumpuh berjalan dan orang buta melihat.

Bagi imajinasi birokrasi yang membatasi, hingga penggunaan bahasa yang terbatas dalam politik, cerita dapat menantang dengan cermin-semesta kata-kata yang terbuka dan tak terbatas untuk membantu kita memahami citra diri kita bersama. Dalam ranah ideal, kota membutuhkan: pencipta yang tidak hanya membangun sesuai pesanan dan, meski bacaan dapat dikooptasi dan puisi bisa jadi propaganda, cerita yang terus menawarkan pembacanya kota-kota imajiner lain yang cita-citanya cenderung bertentangan atau melanggar cita-cita Republik resmi. Kepedulian Platon sepertinya bukan karena Kassandra dikutuk, tetapi karena kutukan itu mungkin tidak efektif dan, meski dengan kelicikan Apollon, para pembaca masih percaya kata-katanya. Mungkin, seperti Döblin tahu, iman yang waspada ini masih ada di jantung keterampilan setiap pencipta.

***

Tentang Alberto Manguel

Ia adalah seorang antolog, penerjemah, esais, novelis, editor, dan direktur Perpustakaan Nasional Argentina. Ia lahir di Buenos Aires, 13 Maret 1948. Karya monumentalnya adalah The History of Reading dan The Dictionary of Imaginary Places (ditulis bersama Gianni Guadalupi). Esai ini diterjemahkan Mario F. Lawi dari esainya yang berjudul “The Voice of Cassandra” dalam buku The City of Words (Toronto, House of Anansi Press, 2007: 5-27).


Gambar diambil dari artikel “Alberto Manguel and The Library of Babel” di tablemag.com.

Tulisan Mario F. Lawi juga dapat dibaca di rubrik PUISI TERJEMAHAN dan CERPEN TERJEMAHAN.

Komentar Anda?