Menu
Menu

Death of a Salesman bisa jadi refleksi yang baik untuk melihat kembali problem dan konflik keluarga di Indonesia.


Oleh: Eka Putra Nggalu |

Penggiat di Komunitas KAHE Maumere


Lakon Death of a Salesman[1] adalah salah satu karya Arthur Miller yang sangat familiar dan terus-menerus dipanggungkan setelah pementasan perdananya pada 10 Febuari 1949 di Morosco Theatre, New York City.

Karya ini memenangkan Pulitzer Prize untuk Drama dan Tony Award untuk Best Play, pada tahun pertama ia dipentaskan. Sampai dengan 18 November 1950, pertunjukan yang pertama kali diproduksi oleh produser ternama Kermit Bloomgarden dan Walter Fried ini melalui 742 penampilan. Selanjutnya, naskah ini dipentaskan ulang sebanyak empat kali di broadway, masing-masing tahun 1975, 1984, 1999, dan 2012. Pertunjukan ini juga menjadi salah satu yang diberi perhatian oleh para kritikus seni pertunjukan dari pementasan ke pementasan. Ia disebut-sebut sebagai salah satu mahakarya teater modern Amerika.

Di Amerika, naskah ini dianggap mampu merepresentasikan dengan baik problem keluarga dan konteks sosial historis Amerika pada masa-masa awal naskah ini diciptakan dan dipanggungkan. Ulasan ini ingin menggali bagaimana naskah ini menampilkan irisan-irisan antara situasi dan problem dalam keluarga, termasuk peran dan status para anggota keluarga, dengan konteks sosial-ekonomi-politik masyarakat/negara? Apakah karya ini penting dan relevan dibaca serta dipanggungkan saat ini di Indonesia?

Konteks Sosial Death of a Salesman

Pembacaan-pembacaan awal terhadap Death of a Salesman berkutat pada beberapa tema semisal analisis konteks sosial naskah ini dengan jargon American Dream (Mimpi Amerika) yang terus-menerus digaung-gaungkan di negeri Paman Sam itu segera setelah dicetuskan pertama kali oleh James Truslow Adams dalam bukunya Epic of America (1931). Lebih jauh sebelumnya, esay Bejamin Franklin tahun 1775 berjudul The Way to Wealth menarik kelas-kelas pekerja umumnya untuk menanamkan dalam kepala mereka ide-ide mengenai kemajuan, kesejahteraan, kompetisi, kekayaan, pemujaan terhadap ekonomi kebebasan, dan kebahagiaan, merujuk pada Deklarasi Kemerdekaan Amerika.

Pada masa-masa selanjutnya, slogan American Dream terus menerus dipakai oleh pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi kapitalis yang berlangsung hingga saat ini. Seruan ini secara masif beredar dalam reklame-reklame, produk-produk budaya massa yang ramai dikonsumsi, hingga khotbah-khotbah bernuansa etika protestanisme di gereja-gereja.

Mimpi Amerika tidak serta merta membawa kesejahteraan pada rakyat banyak. Malahan, mimpi ini kerap berubah menjadi sebentuk kesadaran palsu yang menghadirkan ilusi akan realitas bagi para kelas pekerja (dalam versi mutakhir mimpi kelas-kelas pekerja itu bertransformasi secara lintas bangsa sebagai efek dari politik ekonomi pasar bebas dan globalisasi paham-paham modern).

Kesadaran palsu ini menjadi bahan bakar tak kasat mata yang menggerakkan tubuh-tubuh kelas pekerja untuk bekerja demi kesejahteraan kaum kapitalis. Seperti halnya Willy Loman, tokoh sentral dalam cerita ini yang menghabiskan lebih dari sebagian hidupnya sebagai seorang pedagang keliling (salesman). Secara lebih personal-biografis, situasi ini pun berkaitan dengan depresi ekonomi di Amerika Serikat, yang turut dialami keluarga Arthur Miller dalam rentang tahun 1930-an.

Beberapa pembacaan lain terhadap Death of a Salesman terbentang antara tema-tema psikologis yang mengaitkan halusinasi Willy Loman dengan konsep-konsep psikoanalisis; paradoks antara kehidupan manusia dengan teknologi khususnya di bidang industri yang pesat berkembang dan mengalienasi manusia dari basis kerja dan hidupnya; sebuah supresi dari masyarakat modern yang menekan pertumbuhan individu demi perkembangan kolektif yang sarat ketimpangan kelas; hingga tragedi bunuh diri yang dilakukan oleh seorang psikopat yang merasa begitu hina karena dirinya tidak disukai di lingkungan kerja yang menjadi satu-satu alasan bagi dirinya untuk merasa berguna dan bermakna.

Yang mungkin jarang dilihat dalam Death of a Salesman adalah kisah cinta antara ayah dan anak. Cinta mereka adalah cinta manusia yang tidak sempurna, penuh dengan proyeksi harapan masing-masing, juga satu terhadap yang lain. Harapan-harapan ayah-anak itu hadir di antara harapan masyarakat modern Amerika: yang realistis di salah satu kutub dan yang mitologis di kutub yang lain. Di antara kelindan itu, ada satu tokoh yang kerap dilupakan, Linda Loman, istri si pedagang keliling, yang sepintas akan dibahas juga dalam tulisan ini.

Tragedi Keluarga Modern

Death of a Salesman adalah sebuah tragedi keluarga kelas menengah di Amerika. Willy Loman seorang pedagang keliling mendapati dirinya yang sudah tua hidup dalam keadaan miskin dan sangat terpuruk. Dalam serba kesusahan itu ia terus dihantui oleh mimpi-mimpinya di usia muda tentang kesejahteraan, kemakmuran, dan kesuksesan yang ia yakini akan ia gapai. Willy tua hidup dalam imajinasi yang ia bangun sejak dahulu.

Di masa-masa terpuruknya itu, ia beberapa kali berhalusinasi bertemu Ben, saudara sepupu yang pernah mengajaknya pergi berpetualang mencari kekayaan di luar Amerika. Ia berada dalam suatu realitas paradoksal, menyesali keputusannya untuk tinggal (hingga saat ini ketika ia hidup dengan sangat terpuruk) sekaligus meyakinkan dirinya bahwa ia telah membuat keputusan yang benar (ketika ia berhalusinasi bertemu Ben di masa lalu).

Kekeliruan lain dari Willy Loman adalah ia menyuplai kesadaran palsu akan kemakmuran, kekayaan, dan kebahagiaan kepada Biff Loman anak sulungnya. Sejak kecil Biff hidup dalam keyakinan bahwa dia adalah orang yang gagah dan telah ditakdirkan untuk sukses. Ia terus dipuja dan dipuji Willy Loman hingga dirinya merasa bahwa ayahnya mampu mengatasi seluruh kekurangannya. Semua itu membuat Biff tak pernah siap untuk menghadapi seluruh kenyataan hidup.

Ketika ia akhirnya tidak lulus Matematika di ujian akhir sekolah menengah dan hendak meminta tolong ayahnya menemui pihak sekolah, ia malah memergoki sang ayah sedang berselingkuh dengan wanita lain. Dendam dan amarah ini terus dibawa Biff Loman, membuat ia dan ayahnya kian berjarak. Happy, saudara Willy adalah seseorang dengan ide besar, mewarisi kecenderungan sang ayah. Ia merasa dirinya bisa menjadi sukses tetapi dalam kenyataannya dirinya tak pernah diperhitungkan oleh Willy. Ia bercita-cita menjadi pedagang kaya raya tetapi impiannya tak pernah terwujud. Ia diam-diam menyimpan dendam sekaligus ambisi yang tak tertebak.

Konflik di masa lalu itu adalah peristiwa yang memicu konflik lain yang lebih besar di masa kini. Willy merasa dirinya hidup di tengah-tengah lingkungan yang tidak cocok. Seluruh rekan dan kerabatnya menjadi orang sukses. Bernard, teman sepermainan Biff, menjadi seorang pengacara sukses. Charley ayah Bernard berniat meminjamkan Willy uang, tetapi dengan angkuh ditolak Willy karena ia merasa begitu terhina oleh perlakuan itu.

Situasi terpuruk ini coba diperbaiki Willy dengan cara yang sungguh ironis, mencoba menghidupkan kembali mimpinya tentang Biff dan Happy yang sukses. Biff diminta pergi ke seorang konglomerat tempat ia pernah bekerja dahulu untuk meminjam uang sebagai modal awal usaha. Percobaan itu tidak pernah berhasil. Biff malahan sadar bahwa ia adalah seorang kleptomania ketika ia malah mengambil pulpen sang konglomerat yang ia temui. Biff menyadari dirinya bukan seseorang yang dilahirkan dengan garis tangan kesuksesan.

Konflik menanjak ketika Biff yang frustasi hendak jujur dengan seluruh khayalan yang terjadi tetapi hal itu ditentang oleh Linda yang sadar betul bahwa kejujuran itu akan membunuh Willy. Namun, pertengkaran tak terhindarkan. Kejujuran tak bisa dibendung. Singkat cerita, dalam keadaan frustasi dan putus asa, Willy Loman bunuh diri dengan menabrakkan mobilnya di jalanan.

Death of a Salesman adalah sebuah tragedi. Mudah sekali menemukan unsur-unsur peripeteia, hamartia, dan hubris yang esensial dalam sebuah drama tragedi seturut konsep Aristoteles. Struktur kisah dalam tragedi Death of a Salesmen tidak disusun dalam polarisasi karakter-karakter yang baik dan jahat, protagonis dan antagonis secara hitam putih, tetapi pembalikan keadaan yang serba halus dan dilematis, yang memuat cinta ayah kepada anak yang diekspresikan secara berlebihan, cinta anak kepada ayah yang tidak bisa diungkapkan secara jujur, juga harapan-harapan palsu yang dirawat dan dibangun secara bersama-sama dalam keluarga. Polarisasi antara benar-salah, baik-buruk jadi tidak relevan.

Tragedi ini membentangkan sekaligus dilema-dilema antara kesadaran personal masing-masing tokoh dengan proyeksi alam bawah sadar mereka terhadap tokoh lain, sikap egois dan altruis, cinta dan benci, yang ideal dan yang riil, masa lalu dan masa kini. Permainan emosi, dinamika, dan gradasi dalam spektrum-spektrum peristiwa dan nilai ini, juga pembalikan kenyataan yang dialami tokoh Willy dan keluarganya menjadikan kisah Death of a Salesman tidak hanya menarik tetapi menantang untuk dimasuki oleh para penampil maupun penonton.

Dilema-dilema dalam Death of a Salesman tentu saja berpusat pada tarik-ulur pengalaman dan harapan antara Willy dan Biff, ayah-anak yang menggerakkan keseluruhan cerita. Ada semacam kekuatan magnet yang secara bersamaan menarik sekaligus menolak masing-masing subjek dalam relasi ayah-anak ini. Biff Loman sadar betul bahwa ia hidup dalam satu ilusi kegagahan yang telah lama diwarisi oleh mimpi-mimpi, harapan, dan sikap yang dikonstruksi ayahnya dalam seluruh perjalanan hidup keluarga mereka. Ia hendak merusak dan menghancurkan konstruksi itu. Namun dalam waktu yang bersamaan ia tahu betul, merusak konstruksi itu juga berarti merusak tidak hanya mimpi-mimpi, tetapi juga hidup ayahnya. Biff ingin menyelamatkan Willy dalam waktu yang bersamaan dengan keinginannya untuk membebaskan diri sendiri dari jerat ilusi yang diciptakan ayahnya.

Bagi Willy, Biff adalah justifikasi sekaligus impian yang terus-menerus dikejar. Willy hidup dalam bayangan akan kemegahan yang terproyeksikan dari pengalaman-pengalaman masa lalu dalam keluarganya, yang terpancar bagai senter dari generasi ke generasi. Biff baginya adalah portal menuju kemahsyuran itu. Sementara bagi Biff, ayahnya berdiri di antara diri dan hidupnya. Willy adalah masa lalu yang harus dilampaui, kepalsuan yang harus ditolak, tetapi juga utang yang harus selesai dibayar.

Seperti dalam dilema-dilema percintaan, kelihatannya akan lebih baik kalau toxic relationship ini diputuskan. Baik jika Biff pergi meninggalkan ayahnya bersama ibunya sendiri lalu memperbaiki diri dan hidupnya yang masih luas terbentang, sementara Willy dibiarkan tersadar dari lamunannya, menjadi lebih realistis dan melepas ilusi tentang kejayaan dan kepuasaan diri sendiri yang dilekatkan pada diri anaknya. Namun, sampai akhir kisah, jelas bahwa tak ada yang benar-benar beranjak pergi. Mereka terus terjerat dalam kompleksitas emosi, dan berkaca satu dengan yang lain, meski yang mereka dapatkan adalah gambaran-gambaran yang buram dan terpecah-pecah.

Sepenggal dialog antara Willy dan Biff Loman bisa menggambarkan konflik dan saling proyeksi antara ayah-anak, tanpa penyelesaian, karena keduanya sama-sama tidak siap untuk meninggalkan satu dengan yang lain.

BIFF: Shake hands, Dad.

WILLY: Not my hand.

BIFF: I was hoping not to go this way.

WILLY: Well, this is the way you’re going. Good-by. (Biff looks at him a moment, then turns sharply and goes to the stairs.)

WILLY (stops him with): May you rot in hell if you leave this house!

BIFF (turning): Exactly what is it that you want from me?

WILLY: I want you to know, on the train, in the mountains, in the valleys, wherever you go, that you cut down your life for spite!

BIFF: No, no.

WILLY: Spite, spite, is the word of your undoing! And when you’re down and out, remember what did it. When you’re rotting somewhere beside the railroad tracks, remember, and don’t you dare blame it on me?

BIFF: I’m not blaming it on you!


Bagian selanjutnya tentang karakter perempuan dalam naskah “Death of a Salesman”…

[nextpage title=”Linda Loman, Citra Istri dan Perempuan”]

Karakter perempuan tidak terlalu menonjol dalam naskah Death of a Salesman. Dalam percakapan antara Biff dan Happy, beberapa gambaran tentang perempuan terungkap secara cukup negatif. Happy yang adalah seorang playboy menilai perempuan dari kenikmatan belaka. Ia suka main perempuan, dan mengidentifikasi perempuan dari kemungkinan apakah perempuan itu dapat disewa untuk tidur atau tidak. Biff, meskipun tidak menampilkan karakter seorang playboy, tetap saja menganggap perempuan tidak penting dalam hidupnya.

Beberapa sosok perempuan yang muncul dalam naskah ini, seperti Jenny sang sekretaris, Miss Francis, Miss Forsythe, Letta dan personifikasi perempuan lainnya kerap ditempatkan sebatas sebagai objek seks belaka. Sosok-sosok perempuan ditampilkan dalam asumsi tokoh laki-laki terhadap mereka, yaitu sebagai wanita panggilan, mucikari, model sampul majalah hingga pelacur yang bisa diajak tidur.

Hal ini misalnya tampak dalam dalam cara Happy menilai Forsythe, dan menawarkan perempuan itu untuk dipakai oleh Biff:

HAPPY: Isn’t that a shame now? A beautiful girl like that? That’s why I can’t get married. There’s not a good woman in a thousand. New York is loaded with them, kid!

BIFF: Hap, look…

HAPPY: I told you she was on call!

Dalam lanskap konsepsi tentang perempuan yang serba termarjinalisasi itu, Linda sebenarnya hadir sebagai satu-satunya sosok dalam keluarga Loman yang sadar akan realitas. Linda adalah yang paling rasional dalam keluarga yang sedang terlibat intrik. Ia tahu betul kondisi Willy. Ia tahu bahwa Willy hidup dalam ilusi antara masa lalu dan masa kini, harapan dan kenyataan. Ia yang paling tahu soal keadaan dan situasi rumah, mulai dari keadaan perabot, utang piutang dan kebutuhan hidup, hingga masalah-masalah krusial seperti percobaan bunuh diri yang kerap dilakukan Willy. Ia yang secara lantang mengeritik cara hidup dua anak laki-lakinya yang serba hedonis, termasuk kebiasaan mereka main perempuan. Ia yang meminta Biff dan Happy pergi, ia yang pertama kali sadar bahwa Willy dan anaknya tidak akan pernah dapat hidup bersama. Ia tahu bahwa ketiga laki-laki yang dicintainya memiliki cara pandang sendiri-sendiri dan kontradiktif tentang kehidupan macam mana yang harus masing-masing mereka jalani.

Dilema Linda Loman adalah upayanya untuk terus menerus menghidupkan impian Willy. Ia terus-menerus meyakinkan Willy untuk tetap tinggal bersamanya dalam kehidupan sebagai salesman, berjuang secara realistis dalam kehidupannya saat ini. Di sisi lain ia tetap saja membiarkan Willy untuk percaya bahwa anak-anak laki-lakinya sedang berusaha keras meraih cita-cita keluarga mereka. Linda yang meyakinkan anak-anaknya untuk meminjam uang dan memulai usaha seturut keinginan ayah mereka tetapi di saat yang bersamaan meminta mereka pergi, untuk menyelamatkan Willy dari putus asa yang mematikan. Meski pada akhirnya Linda harus jujur soal mobil yang sengaja dirusak Willy untuk mendapat uang asuransi kecelakaan. Ia jujur kepada Willy bahwa pihak asuransi tahu kesengajaan Willy dan tidak akan mengganti beban kerugian.

Linda Loman versi Death of a Salesman boleh jadi merepresentasikan konsep perempuan yang memiliki model peran yang terbatas dan banyak berkutat pada hal-hal domestik. Linda menunjukkan proporsionalitas sebagai seorang perempuan yang melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah secara efisien, hal yang tidak seharusnya diyakini sebagai kelaziman dalam perspektif gender tetapi dalam kenyataan kisah ini, justru menjadi nyawa dan jiwa dari keseimbangan keluarga Loman.

Meski tidak kebal terhadap impian-impian akan kemajuan yang menggerakkan masyarakatnya, Linda menunjukkan independensi yang kuat, yang membuat dirinya tetap berpijak pada realitas. Dukungannya pada Willy Loman dan kesetiaannya pada pernikahan (bahkan meski pernah diselingkuhi Willy tanpa ia tahu) melampaui sebentuk kepatuhan seorang perempuan pada budaya dominan. Ia percaya sepenuhnya pada Willy yang menyerahkan seluruh diri dan hidupnya pada determinasi ekonomi, pada budaya yang digerakkan oleh komersialisasi dan pemujaan terhadap kekayaan sebagai sumber kebahagiaan di dunia ini, tetapi tidak serta merta menjadi budak dari situasi itu. Ia menjadi satu-satunya yang sadar, hidup di sini dan saat ini dan sebisa mungkin mengendalikan keadaan.

Linda Loman adalah karakter perempuan yang spesial, yang berbeda dari citra perempuan lain yang ditampilkan dalam Death of a Salesman. Meski semua citra perempuan yang ada dalam cerita ini tentu didefinisikan oleh budaya patriarki yang kental, sosoknya memberi perbedaan: di tengah situasi masyarakat yang memuja dan merayakan materi, dengan ambisi dan kompetisi yang terarah pada kemajuan, cinta dan kesetiaannya pada suami dan keluarga menyediakan satu fokus yang lain pada nilai-nilai moral-etis melalui melodrama yang sederhana dan secara ironis menampilkan satu kualitas transenden yang melampaui seluruh alasan-alasan dari intrik yang tersebar dalam keseluruhan cerita.

Kesetiaan Linda Loman misalnya digambarkan dalam monolog berikut:

LINDA: Forgive me, dear. I can’t cry. I don’t know what it is, I can’t cry. I don’t understand it. Why did you ever do that? Help me Willy, I can’t cry. It seems to me that you’re just on another trip. I keep expecting you. Willy, dear, I can’t cry. Why did you do it? I search and search and I search, and I can’t understand it, Willy. I made the last payment on the house today. Today, dear. And there’ll be nobody home. (A sob rises in her throat.) Were free and clear. (Sobbing more fully, released.) Were free. (Biff comes slowly toward her.) Were free… Were free…

Tentu bukan sebuah prototipe, sosok Linda Loman boleh jadi adalah metafora bahwa progresivitas dalam paham modern perlu terus-menerus ditilik. Kualitas-kualitas seperti cinta, kesetiaan, pengorbanan, kekeluargaan, harapan yang kerap abai ketika semua hal berusaha dirumuskan dalam kerangka kemajuan, emansipasi, dan kemandirian individu. Kehadiran Linda Loman menegosiasi citra-citra perempuan yang negatif dan patriarki, yang tersebar dalam pikiran para tokoh pria dalam naskah ini. Selain itu, ia juga mempertanyakan ukuran-ukuran yang kerap dipakai dalam masyarakat modern seperti pendewaan hal-hal komersial di atas nilai.

Resistensi Linda terhadap konstruksi ekonomi kapitalistik misalnya tampak dalam dialog berikut:

LINDA: I cant understand it. At this time especially. First time in thirty-five years we were just about free and clear. He only needed a little salary. He was even finished with the dentist.

CHARLEY: No man only needs a little salary.

LINDA: I cant understand it.

Death of a Salesman Konflik Keluarga dalam modern infografik


Death of Salesman masih penting juga relevan untuk dibaca dan dipanggungkan saat ini, tidak terkecuali di Indonesia, minimal karena dua alasan.

Pertama, Death of a Salesman merepresentasikan dengan baik konflik-konflik keluarga di zaman modern ini. Kisah ini menunjukan betapa keluarga tidak berada dalam vakum sosial masyarakat. Konflik-konflik keluarga yang kelihatan personal ternyata juga dikonstruksi oleh perubahan-perubahan sosial-ekonomi-politik suatu masyarakat/negara, termasuk ekses-ekses dari visi modernisme yang telah melampaui batasan-batasan geografis.

Naskah ini bisa menjadi refleksi yang baik untuk melihat kembali problem dan konflik keluarga di Indonesia yang kerap dipicu oleh permasalahan ekonomi. Masalah-masalah urbanisasi, dilema-dilema perihal meninggalkan kampung halaman untuk mencari nafkah atau tetap tinggal dan mengusahakan sumber daya yang ada di kampung halaman bisa dipantulkan serta didialektikakan dengan keseluruhan isi dari naskah ini.

Kedua, Death of a Salesman mampu menghadirkan dengan cukup detil bagaimana sisi domestik sebuah rumah tangga yang di dalamnya tercakup status dan pola pembagian peran yang melibatkan laki-laki dan perempuan. Domestifikasi dan pandangan negatif peran perempuan cukup mencolok dalam pikiran para tokoh laki-laki. Ini bisa dibaca sebagai strategi untuk memunculkan isu gender dalam keluarga/masyarakat modern. Melalui sosok Linda Loman, naskah ini memberi tawaran lain soal pentingnya visi moral-etis di tengah dinamika modernisme dalam masyarakat yang bercorak kapitalistik dan developmentalistik.

Dalam konteks lokal di Indonesia, naskah ini membentangkan satu tawaran refleksi dan negosiasi terhadap cita dan citra emansipasi perempuan yang kerap bias ketika menemui dilema antara visi-visi modernisme dan kualitas-kualitas/nilai-nilai budaya setempat. Cita-cita dan citra emansipasi gender yang kerap memaki standar-standar modern (Barat) perlu terus ditimbang dan dibaca ulang dalam satu kerangka yang komprehensif dalam dialektikanya dengan konteks masyarakat dan budaya lokal.(*)

***

[1]Sulit bagi saya yang tumbuh di lingkungan yang tidak memiliki ekosistem berteater menemukan naskah ini dalam bahasa Indonesia. Dalam penelusuran saya, beberapa penulis lakon Indonesia pernah menyadur naskah ini, antara lain Asrul Sani dan Nano Riantiarno. Meski demikian, naskah yang di Indonesia lebih familiar dengan judul Matinya Pedagang Keliling ini sangat sulit diakses publik. Saya mendapat akses satu naskah bahasa Indonesia koleksi Joko Kurnain, tetapi memilih untuk tetap membaca versi bahasa Inggris karena beberapa pertimbangan. Jika menemukan naskahnya saja susah, tentu mudah ditebak kalau sama sekali belum menonton pertunjukannya. Meski demikian, naskah ini tentu dapat diperlakukan sebagai karya sastra, yang mandiri dari pertunjukannya.


Infografik: Daeng Irman

Baca juga:
– [Ulasan Buku]: Memasuki Cerpen “Singgah di Sirkus” Karya Nukila Amal
– [Ulasan Film]: Cold War: Romansa yang Terjebak dalam Politik Ideologi Negara

2 thoughts on “Death of a Salesman: Konflik Keluarga dalam Ilusi Modernisme”

  1. Ashillah Fauziyyah Prakoso berkata:

    kelihatan nya akan lebih baik jika toxic relationship di putuskan, lebih realistis dan melepas ilusi tentang kejayaan dan kepuasaan diri sendiri yang dilekatkan pada diri anaknya

    1. crsh berkata:

      toxic relationship harus diputuskan, karena dapat memicu terjadinya gangguan mental

Komentar Anda?