Menu
Menu

Di panggung Maumerelogia IV, selama tiga malam, total ada delapan pertunjukan yang dipentaskan.


Oleh: Maria Pankratia |

Sedang berusaha untuk beralih profesi menjadi NOTULIS penuh waktu.


Pagi yang lengang, hanya beberapa orang yang tampak mondar-mandir di sekitar panggung dan aula terbuka RUJAB Bupati Kabupaten Sikka, tempat di mana Festival Teater Maumerelogia IV digelar.

Pagi itu, sedianya diskusi yang kedua dilaksanakan. Akan tetapi belum tampak satu pun peserta. Salah satu narasumbernya bahkan belum muncul. Saya menyibukkan diri melihat-lihat sekitar sembari memikirkan beberapa hal. Ini merupakan tahun kedua saya hadir di Maumerelogia, setelah tahun lalu ikut dalam perayaan Maumerelogia III. Di 2018, mengusung tema Tsunami! Tsunami!, Maumerelogia diselenggarakan di tepi pantai Lokaria, dengan panggung terbuka yang langsung menghadap ke laut.

Memasuki tahun yang keempat, sebagai tahun Refleksi, Renewal—sebuah kata yang bagi saya sendiri, masih asing belaka—diangkat menjadi tema. Panggung pertunjukan kali ini berada di tengah-tengah kebun singkong yang luas diselingi pohon-pohon mangga yang tengah berbuah lebat, di dalam kompleks Rumah Jabatan Bupati Sikka, di Jl. El Tari Maumere. Saya sempat mencicipi daging mangga arum manis tersebut selama tiga hari berada di lokasi festival. Sayang sekali, niat mencabut beberapa batang ubi batal, karena tidak ada yang mau bersekongkol melakukan pekerjaan itu di bawah terik matahari Maumere yang sungguh menyengat.

Ada tiga sub tema yang dirangkai oleh Komunitas KAHE pada perhelatan Maumerelogia IV ke dalam bentuk Bincang Tematik. Saya rangkum dalam catatan yang coba saya hadirkan dalam bentuk notulen dari hasil transkrip rekaman selama kurang lebih tujuh jam dari total keseluruhan diskusi yang berlangsung selama tiga hari tersebut (tidak termasuk diskusi pasca-pementasan).

Rangkaian diskusi ini sesungguhnya saling berkaitan satu. Saya akan memulainya dengan diskusi pada hari kedua, Maumerelogia dan Aktivasi Seni di Maumere (Yang Estetis, Yang Politis). Kemudian berlanjut ke hari ketiga, Festival sebagai Platform Bersama Pengembangan Seni Pertunjukan. Baru kemudian kembali ke hari pertama, Membaca Kembali Maumerelogia (melihat kegalauan Komunitas KAHE dari dekat).

Maumerelogia dan Aktivasi Seni di Maumere (Yang Estetis, Yang Politis)

Setelah menunggu beberapa saat, para peserta diskusi berdatangan, pembicaranya pun telah lengkap, diskusi hari kedua akhirnya dimulai. Bincang Tematik yang kedua di Maumerelogia IV ini mengajak para seniman yang juga adalah guru dan aktivis dalam keseharian mereka untuk berbagi pengalaman sebagai orang-orang yang merasakan dampak langsung dari kehadiran Maumerelogia, serta harapan-harapannya bagi perkembangan festival seni pertunjukan ini ke depannya.

Mereka adalah, Maria Ludvina Koli (Guru di SMAS JOHN PAUL II Maumere, sekaligus pendamping dan sutradara Teater Sekolah “Refrein”), Darno Desno (Guru Seni Budaya dan Seniman Musik), Linda Tagie (Seniman dan Penggiat di Komunitas Lowewini, Kupang), dan Gwen Lesmaister (Seniman Dramaturgi dan Penggiat di Theatre X-Berlin, Jerman).

Menurut Iin, Maumerelogia adalah sebuah sarana belajar bagi siswa/i yang sekalipun memiliki ekstrakulikuler di sekolah akan tetapi belum tentu belajar tentang manajemen produksi.

“Kita sering menghabiskan waktu hanya untuk memikirkan pementasan, tetapi tidak mengambil hal-hal penting dari proses persiapan hingga pasca pementasan. Manajemen produksi membantu siswa/i, selain belajar berorganisasi, karakter mereka pun secara perlahan terbentuk menjadi lebih baik dari waktu ke waktu,” ungkap Iin.

IIn menambahkan, kehadiran Maumerelogia secara tidak langsung menjelaskan kepada pelaku pendidikan yang lain bahwa teater sebagai seni pertunjukan adalah bidang kesenian yang paling lengkap dibandingkan bidang kesenian yang lain. “Membuat naskah melalui riset, latihan bersama, juga belajar tentang proses produksi. Sebagai media pendidikan, teater membantu membangkitkan kesadaran, bukan hanya kepada siswa/i tetapi juga bagi para pendamping/guru. Teater adalah jalan panjang untuk memahami isu sekitar sekaligus membangkitkan potensi diri. Secara politis dan estetis, Maumerelogia bekerja dengan sangat baik melalui teater dengan melibatkan sekolah-sekolah di Maumere di festival ini,” paparnya.

Sementara itu, bagi Desno, yang juga memiliki profesi sama dengan Iin, Maumerelogia memiliki pengaruh yang cukup kuat bagi perkembangan teater di Maumere.

“Barangkali cukup sulit sebab teater tidak semenarik seni yang lain. Bagi anak-anak milenial khususnya. Akan tetapi di teater, meski hanya ada pada kapasitas tertentu, yang bisa jadi tidak sesuai harapan sutradara, setiap orang masih diberi kesempatan untuk mengambil  tanggung jawab lain. Entah itu di artistik, lighting, atau yang lainnya. Hal ini secara tidak langsung menimbulkan rasa percaya diri bahwa mereka mampu melakukan sesuatu, dan itu sangat penting bagi generasi-generasi muda kita,” tutur Desno.

Bagian ini tentu sangat politis, bahwa secara tidak langsung, Maumerelogia telah memberikan pengaruh yang sedikit banyak mengubah cara berpikir kaum muda melalui teater.

Desno melanjutkan, sejak Maumerelogia I diselenggarakan pada tahun 2016 di Maumere, beberapa sekolah bahkan kampus mulai mengadakan giat teater. Baik sebagai ekstrakulikuler, maupun pementasan pada perayaan-perayaan tertentu. “Bahkan saat karnaval yang diselenggarakan dua tahun yang lalu, ada siswa/i Sekolah Dasar yang mementaskan teater di jalan,” ungkapnya.

Pendapat lain datang dari Linda Tagie. Linda melihat, selama empat tahun melangsungkan Maumerelogia, KAHE telah merangkul banyak sekali komunitas. Bahkan lintas daerah di Nusa Tenggara Timur. KAHE menjadi medium yang begitu cair, membicarakan isu pendidikan, politik, bahkan juga menjadi arsip budaya melalui berbagai macam riset dan pementasan. Selain itu, menurutnya, melalui kesenian, KAHE menyediakan media terapi yang baik bagi mereka yang sebenarnya mengalami tekanan tertentu di tengah masyarakat.

“Saya selalu melihat KAHE sebagai rumah kedua saya. Ketika ke Maumere selain berkesenian, saya merasa seperti pulang,” tutur Linda.

Di Maumerelogia II, KAHE yang sebelumnya di tahun pertama melaksanakan pertunjukan di Aula Biara Karmel Wairklau akhirnya turun ke kota, di Sikka Convention Center. Tahun ketiga, pertunjukan dilakukan di pinggir pantai, dan kini di tahun keempat, KAHE mendapat tempat di kompleks RUJAB Bupati SIKKA. Bagi Linda, KAHE telah berusaha dengan maksimal untuk masuk ke segala ranah, membangun banyak jaringan, dan memanfaatkan semua itu dengan sangat politis sekaligus estetis untuk menyuarakan kegelisahan-kegelisahan yang ada di sekitar lingkungan sosial kita.

Pada diskusi itu, hadir juga Yoseph Lazar. Seorang Pengawas Pendidikan, yang juga Seniman. Menurutnya, ada tiga kata kunci yang dibahas pada Bincang Tematik kedua ini: Teater, politik, estetis. “Seniman, adalah orang-orang yang komunikatif tetapi tidak konspiratif. Mereka sangat memegang teguh prinsip, tetapi di waktu bersamaan tidak bisa diajak berkompromi. Seniman tidak bisa melawan arus, tetapi harus bermain di dalam arus. Oposisi bukan berarti harus berada di luar arena,” tutur Yoseph.

Dari pengamatannya, KAHE, telah melakukan semua itu. Menjadi seniman yang juga memegang teguh prinsip. Hanya tinggal memikirkan kegiatan lain yang melibatkan lebih banyak orang-orang di dalam arus tersebut, sehingga tidak hanya KAHE yang kompetensinya terus ditingkatkan tetapi orang-orang di dalam arus tersebut juga ikut diselamatkan. Dalam hal ini, tokoh masyarakat, pejabat pemerintahan yang memiliki posisi strategis dalam mengambil kebijakan, juga para pendidik yang menentukan masa depan peradaban kita melalui anak didiknya.

Kesempatan terakhir diberikan kepada Gwen, yang membagikan pengalamannya sebagai Penggiat Teater di Berlin, Jerman. Kehadiran Gwen di Maumerelogia IV sebenarnya bertepatan dengan masa magangnya di Komunitas KAHE selama beberapa bulan ke depan. Ini dimulai akhir bulan Oktober lalu. Sangat kebetulan sebab akhirnya Gwen bisa membagikan pengalaman berteaternya kepada pada sesi diskusi Maumerelogia IV.

Gwen memulai Teater X sejak sepuluh tahun yang lalu bersama kawan-kawannya. Teater X sesungguhnya adalah tempat bagi mereka yang minoritas dan terpinggirkan, seperti para buruh migran, pengungsi yang mencari suaka di Jerman, maupun siswa/i yang hampir setiap hari mengalami tekanan atau penyiksaan oleh guru dan teman-temannya di sekolah.

Tujuan utama Gwen, dkk. membangun komunitas ini adalah, menggabungkan orang-orang yang didiskriminasi. Tidak seperti Komunitas KAHE yang sangat fokus pada teater tubuh, Teater X justru mengembangkan metode produksi dan sharing pengetahuan. Kerja teater mereka berbasis pada pengetahuan, pengalaman, dan cerita masing-masing anggota dengan perspektif yang berbeda-beda, yang kemudian dibagikan dan diolah ke dalam pertunjukan.

“Teater X menyediakan ruang untuk membicarakan sesuatu yang sangat pribadi. Sebagian besar anggota Teater X adalah imigran muslim yang setiap hari terpapar isu Islamofobic di Jerman, juga pengungsi yang tidak memiliki identitas, pekerjaan, dan sedang mencari suaka,” ungkap Gwen.

Kegiatan dan pergerakan mereka kadang dicurigai sebagai media perlawanan terhadap pemerintah. Namun, tak jarang juga, pemerintah Jerman memanfaatkan komunitas ini sebagai pencitraan kepada publik bahwa mereka merangkul kaum minoritas. Sangat dilematis, sebab bagi Gwen dan kawan-kawan sendiri, mereka memang tetap harus memenuhi kebutuhan finansial mereka dalam berkomunitas. Maka, mau tak mau untuk menyiasati hal-hal tersebut, beberapa demonstrasi yang mengkampanyekan isu tertentu, harus mereka hindari demi tetap medapatkan dukungan pemerintah setempat.

Hingga saat ini, Teater X telah memiliki panggung teater dan festival tahunan yang tidak hanya mengundang para pegiat seni pertunjukan, tetapi juga para akademisi dan penulis di Jerman.

[nextpage title=”Festival sebagai Platform Bersama Pengembangan Seni Pertunjukan”]

Di hari yang ketiga, Bincang Tematik Maumerelogia IV mengundang Silvester Petara Hurit sebagai pembicara.

Sil Hurit adalah seorang ASN di Dinas Pariwisata Kabupaten Flores Timur, yang juga Pengamat Seni Pertunjukan dan Sutradara NARA Teater. Menurut Sil, festival seharusnya menjadi ruang pelestarian bagi budaya-budaya lokal yang kemudian ditampilkan dalam ragam seni pertunjukan.

“Pariwisata sesungguhnya hanyalah sesuatu yang fiksi. Yang sangat jelas dan nyata di hadapan mata orang NTT adalah kebudayaan itu sendiri. Tradisi, adat-istiadat, seni dan alat musik, cerita rakyat dan masih banyak lagi. Di Flores Timur, kami melihat itu sebagai peluang pengembangan pariwisata budaya,” papar Sil Hurit.

Baginya, beberapa tahun terakhir ini, hal yang sungguh berbeda justru terjadi di Kabupaten Sikka—dan mungkin kabupaten-kabupaten lainnya—khususnya pada perhelatan Maumerelogia ini, bisa dilihat sampai dengan tahun keempat, pemerintah Kabupaten Sikka seakan acuh tak acuh pada festival ini. Contoh paling sederhana, langsung disampaikannya saat diskusi.

“Seharusnya diskusi dengan topik yang bagus seperti ini harus dihadiri oleh pelaku seni dan pariwisata maupun pengambil kebijakan di Maumere. Ini momen yang tepat untuk saling berbagi pengalaman berfestival, juga menjadi ruang untuk pertukaran ide. Akan tetapi, bisa kita lihat, tidak ada satu pun OPD Kabupaten Sikka yang hadir, meski telah diundang,” papar Sil.

Namun di akhir diskusi, Sil Hurit tetap menyampaikan apresiasinya sebab Komunitas KAHE, kali ini, mendapatkan tempat di Rumah Jabatan Bupati Sikka—yang merupakan area pemerintah—untuk menyelenggarakan Festival Teater Maumerelogia IV: “merupakan sebuah pencapaian tersendiri untuk para pelaku seni yang setelah empat tahun berfestival, belum juga mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah daerahnya.”

Membaca Kembali Maumerelogia

Hari pertama tiba di Maumere, saya dibuat kaget ketika Eka, Putra Nggalu, Ketua Komunitas KAHE dan Produser Maumerelogia IV, meminta kesediaan saya untuk memandu diskusi yang akan berlangsung pada sore hari. Diskusi ini sengaja dilaksanakan pada hari pertama sebagai bincang refleksi, yang saya pikir cukup menyita perasaan kawan-kawan Komunitas KAHE yang menjadi topik utama pembahasan ini.

Diskusi ini menghadirkan dua pembicara: Romo Ino Koten, seorang pastor dan seniman, dan Eka sendiri. Perbincangan yang sangat personal terkait dinamika berkomunitas. Pertanyaan-pertanyaan lanjutan dari topik ini berhubungan dengan indikator dari keberhasilan festival teater ini bagi anggota komunitas sendiri, orang-orang yang bergiat di dalamnya. Salah satunya adalah, apakah masih relevan menggiatkan aktivitas kesenian yang tidak selalu menjanjikan pemenuhan kebutuhan finansial bagi para anggotanya?

Eka membuka diskusi ini dengan menjelaskan alasan di balik RENEWAL sebagai tema festival tahun ini.

“Kami sebenarnya sedang berusaha melakukan pembaharuan atau aksi menyusun kembali elemen-elemen dan komponen-komponen dari hal-hal yang telah berlangsung di tahun-tahun sebelumnya demi aktivitas-aktivitas seni pertunjukan di masa yang akan datang. Salah satunya, yah, dengan menghadirkan Studio Teater KAHE sebagai wadah berkesenian bagi kawan-kawan di komunitas, juga tentu saja bagi siapa saja yang mau belajar,” jelas Eka.

Mengidentifikasi tingkat keberhasilan Maumerelogia sebagai festival sastra dan teater pertama di Maumere, bukan hal yang mudah. Kita boleh mengatakan keterlibatan sekolah-sekolah, kampus, maupun juga komunitas sejak Maumerelogia I digelar berhasil membuat teater dibicarakan di Maumere, akan tetapi apakah telah tumbuh kesadaran penuh tentang pentingnya seni pertunjukan bagi perkembangan kehidupan sosial masyarakat sekaligus menjadi ilmu yang diminati secara khusus oleh individu-individu yang tinggal di kota ini? Tidak ada yang tahu persis.

Sementara itu, bagi para pegiat seni pertunjukan yang terlibat di Komunitas KAHE, menjalani aktivitas berkesenian sembari menghadapi dinamika lingkungan sosial, di mana tuntutan akan hidup yang lebih baik sekaligus menjadi individu yang diakui di tengah masyarakatnya, bukanlah perkara yang mudah. Tekanan-tekanan yang muncul setiap hari dalam bentuk sindiran bahkan kritik tajam mesti dihadapi dengan tabah dan sabar. Belum lagi kesibukan bekerja yang juga menjadi prioritas utama masing-masing anggota.

“Kami butuh dua hari untuk menentukan keputusan. Dimulai dengan ret-ret komunitas dulu, kemudian diskusi panjang sekali untuk memutuskan akan ke mana dan menjadi apa Komunitas KAHE ini? Bahkan sempat ada wacana untuk dibubarkan saja,” tutur Dimas Radjalewa, salah satu anggota Komunitas KAHE yang juga ikut hadir saat diskusi.

Sementara itu, Romo Ino Koten merefleksikan tahun keempatnya di Maumerelogia sebagai karya pastoral yang baru. Romo Ino terlibat dengan Maumerelogia sejak masih menjadi calon Imam di Seminari Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Pada tahun pertama dan kedua Maumerelogia, ia pentas bersama Teater Tanya Ritapiret. Sementara di tahun ketiga, ia menyutradarai monolog berjudul Admaribus yang dibawakan oleh Ev Johanes di panggung berpasir Maumerelogia III.

Menurutnya: “Teater bisa jadi merupakan salah satu bentuk pelayanan pastoral yang perlu dikembangkan. Khususnya bagi rohaniwan seperti saya. Seni Pertunjukan tanpa disadari menjanjikan dampak-dampak relevan di tengah masyarakat dan Maumerelogia menyediakan panggung tersebut. Memfasilitasi sekaligus mengisi ruang kosong yang belum pernah terpikirkan oleh siapa pun.”

dari panggung maumerelogia iv

Menjawab pertanyaan tentang hal apa yang kira-kira perlu diperbaharui oleh Komunitas KAHE dari Maumerelogia ini, Romo Ino menyarankan agar Komunitas KAHE mulai memikirkan isu-isu yang berbeda selain isu sosial dan urban yang telah dikerjakan selama empat tahun belakangan ini. Sejalan dengan apa yang kemudian disampaikan oleh Sil Hurit pada diskusi hari ketiga, Romo Ino menyampaikan, Nusa Tenggara Timur sedang giat-giatnya mengembangkan pariwisata budaya dan oleh sebab itu, membicarakan pariwisata dan budaya hari-hari ini menjadi sangat penting, mengingat pemerintah sendiri sedang merencanakan banyak hal pada sektor ini.

“Sudah saatnya Komunitas KAHE turun ke kampung-kampung, mengadakan pertunjukan teater di panggung-panggung terbuka di perkampungan. Sebagaimana yang selama beberapa tahun ini telah dilakukan oleh Pemerintah di beberapa kabupaten di NTT bersama masyarakat adat setempat. Salah satunya Flores Timur,” jelas Romo Ino.

Romo Ino juga mengapresiasi langkah kawan-kawan Komuntias KAHE yang justru di tahun keempat ini mencoba mengambil jarak dan merefleksi keberadaan komunitas di tengah lingkungan masyarakat Kota Maumere,

“Ini langkah yang dewasa sekali. Jarang ada komunitas yang berpikir untuk meluangkan waktu dan berbenah diri. Melihat kembali ke dalam dan menyiasati perubahan-perubahan selanjutnya. Kalau dalam tahun kerja keuskupan itu ada yang namanya Sinode yang biasanya dilakukan lima tahun sekali, untuk melihat program kerja maupun kebijakan-kebijakan yang mesti diperbaharui kembali. Cara kerja KAHE, saya pikir mirip dengan ini, dan itu bagus sekali,” tutup Romo Ino.

Diskusi sore itu saya tutup dengan pertanyaan kepada kawan-kawan Komunitas KAHE: “Jadi bagaimana? Mo gas terus atau rem?”

Tika, anggota KAHE yang lain, yang sore itu juga hadir mengikuti diskusi, dengan penuh keyakinan mewakili kawan-kawan Komunitas KAHE menjawab dengan tegas untuk terus melanjutkan kerja komunitas serta kerja kolektif yang selama ini telah dibangun bersama, sembari tetap berjuang mempertahankan eksistensi sebagai manusia merdeka di tengah lingkungan masyarakat.

“Jalan terus, kak. Sudah sampai sejauh ini, tidak boleh berhenti,” tandas Tika.

[nextpage title=”Panggung Pementasan Maumerelogia IV”]

Selama tiga malam di Maumere, total ada delapan pertunjukan yang dipentaskan di panggung Maumerelogia IV.

Empat di antaranya mengangkat tema perempuan.

Pertama, sebuah monolog dari Linda Tagie berjudul Abnormal. Monolog ini diadaptasi dari puisi karya Pater John Jonga berjudul Doa Anak Telanjang, yang ditulis untuk Mama Yosepha Alomang, seorang perempuan tokoh Amungme, Papua, yang terkenal karena perjuangannya membela hak-hak asasi manusia, khususnya masyarakat di sekitar PT. Freeport Indonesia. Mama Yosepha pernah ditangkap karena dicurigai menolong tokoh Organisasi Papua Merdeka, Kelly Kwalik. Bersama dengan seorang perempuan Papua lainnya, Mama Yuliana, ia dimasukkan ke sebuah tempat penampungan kotoran manusia, disekap di tempat itu selama seminggu dengan kotoran manusia setinggi lututnya.

Di panggung Maumerelogia IV, Linda mengadaptasi puisi ini dan mengaitkan isu-isu yang tersebar di tengah masyarakat kita terkait perempuan-perempuan adat di NTT dan isu-isu Hak Asasi Manusia lainnya.

linda tagie di maumerelogia iv

Kedua, Pare Rebo dari Teater Dala IKIP Muhamadiyah Maumere. Pare Rebo mengisahkan pengorbanan seorang anak perempuan di tengah bencana kekeringan dan kelaparan yang menimpa masyarakat di kampungnya. Sebagaimana legenda Dewi Padi yang kita kenal dari berbagai daerah di Indonesia, Rebo, seorang anak gadis, memutuskan untuk berkalang tanah demi mendatangkan hujan dan kesuburan di tanah kelahirannya.

Beberapa penonton mempertanyakan, mengapa selalu perempuan yang dikorbankan saat situasi-situasi genting seperti itu? Namun, ada sudut pandang lain yang kemudian jika kita amati lebih jauh justru begitu sangat mulia. Bukankah perempuan selalu diidentikan dengan kesuburan dan kemakmuran? Seperti seorang ibu yang memberikan kehidupan baru, dan mengasihi anak-anaknya. Harus ada landasan yang membedakan keputusan seorang perempuan untuk mengorbankan diri, dan perempuan sebagai tatanan sosial dan adat tertentu.

Ketiga, Kelana Abadi yang dibawakan oleh mama-mama dari Sanggar Sinariang Adonara. Secara eksplisit pementasan ini menunjukkan gairah dan posisi perempuan di tengah masyarakatnya. Bencana atau kesulitan apa pun yang datang, kelahiran maupun kematian, pembangunan yang tidak berpihak pada masyarakat, perempuan adalah sosok yang tangguh yang selalu teguh berdiri menyaksikan perubahan dari waktu ke waktu, sembari memastikan anak-anaknya tetap hidup dengan baik.

Keempat, Lentera Mama. Sebuah monolog dari Teater Evergrande Syuradikara Ende. Secara garis besar, monolog mereka di Maumerelogia IV ini mengisahkan tentang seorang anak perempuan yang kesepian dan berusaha menemukan sosok ibu yang hilang akibat situasi yang tidak berpihak kepada nasib mereka. Situasi seperti kepincangan politik, rasisme, konflik agama dan sebagainya. Lentera sebagai simbol harapan, cahaya untuk masa depan yang lebih baik.

Pementasan lain datang dari Studio Teater KAHE yang tahun ini tampil membawakan dramatic reading di malam pertama dan malam kedua. Dramatic reading yang pertama diambil dari sebuah naskah terjemahan berjudul “Tempat Istirahat” (Resting place) karya David Campton. Mengisahkan kehidupan sepasang suami istri yang merenungkan kembali hidup mereka di hari tua. Sang Nenek begitu terpesona dengan nisan yang terbuat dari batu marmer putih, tetapi kemudian cemas ketika sadar mereka tidak memiliki cukup uang untuk membelinya. Nenek mempertanyakan kembali pilihan hidup kakek menjadi tukang pembuat sepatu. Andai saja mereka adalah orang kaya yang bisa memilih tempat istirahat terakhir mereka. Kakek merasa bahwa inilah hidup mereka. Meskipun telah uzur, mereka masih bisa melewati hidup ini bersama. Meski tak punya harta berlimpah, mereka memiliki cinta yang membuat mereka dapat melewati semua kesulitan bersama. “Jika kita sudah mati, apa lagi yang harus dipikirkan?”

Dramatic Reading yang kedua adalah sebuah karya Andri Nur Latif, berjudul “Biar Kutulis Untukmu Sebuah Puisi Jelek yang Lain”. Tentang perjumpaan dua orang tua yang dahulu saling mencintai di masa muda, prinsip hidup yang berbeda membuat mereka tidak bisa hidup bersama. Mereka tidak menyadari keberadaan mereka yang bersebelahan kamar di sebuah panti jompo. Percakapan dimulai dari keributan lelaki tua yg merasa tidak dipedulikan lalu ditanggapi oleh perempuan tua, hingga mengarah pada kenangan keduanya. Masing-masing mereka dirawat oleh seorang perawat. Dua perawat ini setia mendengarkan kisah-kisah yang diceritakan oleh kedua orang tua itu. Mereka membicarakan tentang puisi-puisi yang dibuat saat muda dulu. Pada akhirnya kedua perawat tersebut menyadari bahwa tokoh yang diceritakan adalah orang tua yang mereka rawat di kamar yang berbeda.

Pementasan lain yang tidak kalah bagusnya adalah Jong Dobo oleh Teater Refrein SMAS John Paul Maumere. Teater ini diadaptasi dari cerita berjudul sama yang berbicara tentang terdamparnya sebuah kapal (Jong) di wilayah bagian tenggara Maumere. Kapal tersebut berasal dari Dongsong (Hindia Belakang) dan sempat singgah di beberapa wilayah di Indonesia. Setiap daerah yang disinggahi diberi nama “Dobo”, artinya perkampungan. Pengolahan mitos lokal sangat kuat dalam pertunjukan ini. Di Maumerelogia I, Jong Dobo dipentaskan pertama kali setelah melalui riset selama beberapa pekan di Desa Ian Tena, Kecamatan Kangae, tempat di mana “Jong Dobo” berada.

Di malam yang terakhir sebagai penutup, Teater Tanya Ritapiret mempersembahkan Corat-Coret di Toilet. Pementasan ini diadaptasi dari salah satu cerpen Eka Kurniawan berjudul sama. Teater ini menceritakan aktivitas yang terjadi di dalam sebuah toilet umum. Fokusnya pada corat-coret di dinding toilet yang dibuat oleh para pengguna toilet.

Cerita dimulai dengan monolog tukang bersih toilet. Sambil membersihkan toilet, ia mengeluhkan berita-berita politik yang membosankan, yang tidak berdampak sama sekali pada pekerjaannya sebagai tukang bersih toilet. Waktu itu, dinding toilet masih bersih. Kemudian berturut-turut dihadirkan tokoh-tokoh yang membuat coretan di dinding toilet: Mahasiswa, orang tua/orangkampung, gadis revolusioner, tiga siswa SMA, waria, pastor, pejabat pemerintah, lelaki pengangguran. Dalam coretan itu mereka saling berkomentar, bahkan berdebat. Inti persoalannya adalah mana yg lebih mendesak dibuat: revolusi atau reformasi?

Secara umum, coretan itu menyindir kegagalan gerakan reformasi politik di Indonesia. Semua coretan itu kemudian mempengaruhi tukang bersih toilet. Coretan-coretan itu menyadarkan dirinya untuk tidak serta merta pasrah pada nasib buruknya sebagai tukang bersih toilet. Puncaknya ada pada perdebatannya dengan lelaki pengangguran.

Lelaki pengangguran itu menyadarkan tukang bersih toilet untuk berani memberontak terhadap ketidakadilan yang sedang mereka alami. Oleh karena itu, setelah lelaki pengangguran menulis: “aku tidak percaya bapak anggota dewan, aku lebih percaya pada dinding toilet,” tukang bersih toilet itu menambahkan: “aku juga!”

Jika diperhatikan, sebenarnya tidak ada fokus persoalan dalam teater ini. Melalui tokoh dan dialog-dialog antartokoh, diangkat berbagai macam persoalan. Spirit yang menjiwai teater adalah spirit kritik sosial. Teater menjadi wadah untuk menyampaikan kritik itu. Tidak adanya fokus persoalan yang diangkat juga melambangkan narasi dunia milenial yang identik dengan media sosial. Teater mengadaptasi sifat media sosial yang tidak pernah konsisten dengan satu persoalan tertentu, tetapi tetap aktif melempar berbagai macam persoalan ke ruang publik. “Corat-Coret di Toilet” menjadi pementasan terbaik menurut para penonton—termasuk saya—yang menyaksikan pertunjukan di panggung Maumerelogia IV sejak hari pertama hingga hari ketiga.

Arsip bagi Pengembangan Ekosistem

Pada akhirnya, saya pribadi dan kawan-kawan pegiat seni, dalam hal ini Komunitas KAHE, berharap agar siapa saja mampu melihat Bincang Tematik di Maumerelogia IV dan barisan pertunjukan yang telah usai sebagai referensi pertunjukan seni peran yang juga membantu dalam proses peningkatan kapasitas diri—baik sebagai pegiat seni maupun sebagai pemerhati seni—di tengah hiruk-pikuk dunia yang semakin sulit dikendalikan ini.

Meneruskan kegelisahan Eka Putra Nggalu yang pernah disampaikan di sela-sela diskusi, selain kesulitan untuk menarik perhatian pengambil kebijakan dan masyarakat terhadap seni pertunjukan ini, kita juga masih harus membangkitkan kesadaran kawan-kawan akan kebiasaan menonton dan mementaskan.

“Lebih sering penampil akan fokus mengurus pementasannya sendiri, setelah itu pulang dan berpuas diri. Kita mengabaikan pementasan yang lain, karena tidak merasa itu bagian yang juga penting bagi kita. Kesulitan lain adalah orang tidak merasa penting untuk duduk dan ngobrol. Diskusi pasca pementasan bahkan hanya dihadiri oleh perwakilan penampil,” keluh Eka.

maumerelogia iv coret coret di toilet

Ya, tentu saja jalan menuju pengembangan ekosistem berkesenian ini, masih sangat jauh, begitu terjal dan berbatu-batu. Belum lagi, agenda untuk meningkatkan kompetensi diri para seniman kita yang selalu cepat merasa puas ketika tampil sekali dua kali di panggung tertentu, lalu menghabiskan waktu berhari-hari untuk selebrasi di linimasa media sosial. Semoga catatan panjang ini dapat menjadi bahan perbincangan di lain kesempatan, sekaligus arsip yang bisa dikunjungi kapan-kapan ketika bertemu pemicunya.

Sebagai penutup, saya akan mengutip salah satu ungkapan Darno Desno di awal diskusi hari kedua: “Dari awal sa ikut ini komunitas, sa sebenarnya tidak tahu mo bikin apa. Sa pu prinsip, sambil belajar, sambil bahagia.”

Panjang umur untuk Maumerelogia dan Komunitas KAHE. Horoooo….

Salam dari Ruteng!


Foto-foto: Dokumentasi Komunitas KAHE

Kami menyiapkan ruang khusus bagi komunitas-komunitas untuk berbagi cerita di rubrik SEKITAR KITA dan ACARA.

Komentar Anda?