Menu
Menu

Pada novel “Cara Berbahagia Tanpa Kepala”, kita dapat menemukan epiteksnya pada sampul belakang buku.


Oleh: Maria Pankratia |

Notulis.


Sejak 2013, Bincang Buku Petra dilaksanakan dari rumah ke rumah para anggota. Baru di 2019, perjumpaan ini akhirnya dipusatkan hanya di satu tempat setiap bulannya. Selama masa pandemik, dua kali pertemuan bincang buku terpaksa dilakukan melalui aplikasi zoom. Pada Juni 2020, dengan berlakunya kelaziman baru, kami kemudian mencoba memanggil pulang ingatan dan kebiasaan di awal-awal Klub Buku Petra berkegiatan. Maka di pertemuan ke-17 yang dilaksanakan pada tanggal 28 Juni 2020, melalui program Kunjungan Rumah, bincang buku diputuskan untuk dilaksanakan di rumah Armin Bell.

Pertemuan kali ini dihadiri oleh 10 peserta, yaitu: dr. Ronald Susilo, Hermin Patrisia, Febhy Irene, Berto dan Gerson—dua peserta baru yang luar biasa semangatnya, Rio Hamu, Marcelus Ungkang, Lolik Apung yang juga bertindak sebagai pemantik, dan Armin Bell sendiri selaku tuan rumah. Kami akan membahas Cara Berbahagia Tanpa Kepala, sebuah novel karya Triskaidekaman.

Sebelum bincang buku dimulai, beberapa peserta bertukar pengalaman tentang sulitnya mengakses novel kedua Triskaidekaman ini. Hampir semua mengeluhkan ceritanya yang absurd sehingga sulit untuk dipahami. Beberapa peserta bahkan memutuskan untuk tidak menyelesaikannya.

Konsep Waktu

Lolik Apung yang membuka diskusi malam itu menyampaikan, setelah membaca Cara Berbahagia Tanpa Kepala ia menemukan bahwa apa yang ingin dibahas oleh Triskaidekaman ternyata adalah konsep tentang waktu. Konsep ini sudah nampak dalam judul-judul tiap bagian dari novel ini: Hilang-Buang-Kenang-Datang-Pulang.

Lolik menyampaikan: “Ada dua orang kawan lama yang coba membahas tentang konsep ini: Martin Heidegger dan Henri Bergson.”

Dalam kaitannya dengan manusia, waktu menurut Martin adalah temporalitas/kekinian. Temporalitas bermakna kesementaraan/kefanaan: bahwa manusia suatu saat akan mati juga. Maka adanya manusia adalah ada menuju kematian (zein sum tode). Alur demi alur novel ini menggambarkan perjalanan Sempati yang berakhir dengan kematian. Juga semua tokoh yang terlibat dalam cerita ini. Kemudian ada Jatayu atau Derai Cemara yang mati dibunuh oleh Sempati (hal.83). Sempati menghantam kepala Jatayu dengan Jam Dinding. Lalu Derai Cemara yang ternyata adalah Jatayu dibunuh M4/Merpati (hal. 177). Sedangkan M4 dibunuh oleh Darnal (hal. 238 atau 244). Semanggi, ayah Sempati, mati karena jantungnya yang payah dan kemudian menjadi Jam Tangan (hal. 191/199/206) atau hampir di seluruh tema tentang KENANG, dan yang terakhir, Darnal pun mati (hal. 294). Sementara itu, konsep waktu menurut Henri terdiri dari dua jenis waktu, tempus dan durasi.

Bagi Lolik, melalui novel ini, Triskaidekaman, sadar atau tidak, juga ingin menggambarkan waktu sebagai dure/durasi/keberlangsungan/intensitas. Di atasnya manusia menjadi subyek yang memiliki langgas/kebebasan/kehendak bebas untuk menentukan pilihan.

“Konsep durasi ini tidak dipahami sebagai kekinian/sebagai ada, melainkan sebagai ‘proses yang tidak pernah selesai/menjadi. Dalam konsep tentang durasi ini, tidak ada konsep kronologis/sebab-akibat/mekanistik, yang satu disebabkan karena yang lain karena itulah kita menemukan cukup banyak alur/kejadian/setingan cerita yang tumpang-tindih di dalam novel ini. Penulis dengan sengaja mengacaukan pikiran kita yang mungkin terbiasa berpikir kronologis, terbiasa berpikir sistematik, terbiasa berpikir dari A sampai Z, dengan alur-alur dan peristiwa-peristiwa manasuka. Tanpa memahami otak besar Triskaidekaman di balik novel ini, dia tetap akan ada sebagai novel yang aneh/absurd/surealis. Kita pun akan bertanya-tanya benarkah kepala dan tubuh bisa jalan sendiri-sendiri dalam arti fisik. Yang ingin disampaikan oleh Triskaidekaman adalah menyatukan tubuh dan kepala, perasaan dan pikiran, membutuhkan proses seumur hidup. Itu tidak mudah. Bahagia mungkin didapatkan setelah kematian, seperti yang terjadi pada kematian Sempati di halaman 299 (…dia relakan saja kepalanya hancur berkeping-keping, terburai mengerikan dalam lautan darah. Bujur tubuhnya masih segar oleh kematian yang baru menjemput, ditandu ke dalam minibus….Sambil mengelepakkan sayap-sayap remajanya, Sempati yakin dia akan segera bertemu Bahagia…). Di kata bahagia, B ditulis dengan huruf kapital,” papar Lolik.

Terakhir, Lolik menjelaskan, konsep tentang waktu ini paling jelas ditemukan pada bagian ketiga, cerita tentang Semanggi yang menjadi Jam Tangan. Ada Pendulum Waktu yang menjadikan Semanggi yang lemah jantung sebagai jam tangan. Dengan menjadi jam tangan, ia bisa dengan leluasa mengawasi Merpati, Sempati, dan juga Darnal.

Dengan mengaitkan konsep waktu dengan program BEBASKAN KEPALAMU, menurut Lolik, Triskaidekaman hendak membebaskan pembaca dari rutinitas, dari jam sekian harus begini, jam sekian harus begitu, dari jadwal-jadwal atau kesibukan padat yang menyita kesadaran manusia modern. Penulis hendak menggiring pembaca untuk lebih memaknai waktu.

“Triskaidekaman hendak membebaskan dirinya dari pendulum waktu Jakarta, kota metropolitan di mana ia kini tinggal dan bekerja, kota yang terus menggilas yang lamban. Seolah-olah tidak ada waktu yang intens sekedar minum kopi dan ngobrol santai bareng sejenak saja,” pungkas Lolik.

Berusaha Mendapatkan Pesan dari Kisah yang Rumit dan Tidak Masuk Akal

Berto Sileteng mendapatkan giliran selanjutnya untuk menyampaikan hasil pembacaannya. Berto dan Gerson adalah anggota baru Klub Buku Petra yang terbilang muda. Keduanya baru saja menyelesaikan pendidikan tingkat SMA dan sedang mempersiapkan diri untuk jenjang selanjutnya. Mereka berdua masuk dalam kategori pembaca yang menyelesaikan seluruh isi novel Cara Berbahagia Tanpa Kepala malam itu. Sebelum membaca novel ini, Berto membaca buku kumpulan cerpen Perjalanan Mencari Ayam. Bagi Berto, perpindahan dari satu buku yang sangat runut kronologis ceritanya ke buku lain yang alurnya maju-mundur, membuatnya cukup bingung.

“Ini pertama kali saya membaca novel seperti ini. Beberapa kali saya membalik halaman sebelumnya agar bisa memahami cerita, baru melanjutkan kembali ke halaman berikutnya. Ada beberapa kosa kata bahasa Indonesia yang jarang saya temukan di buku-buku lain. Rumit dan sulit dimengerti,” ujar Berto.

Namun demikian, dari sekian kerumitan yang dialami, Berto menemukan pesan yang menarik dari novel ini: Pengorbanan seorang ayah kepada anaknya; Semanggi kepada Sempati. Semanggi memutuskan menjadi jam tangan yang melingkar di tangan sempati setelah ia mati, agar dapat terus memantau kondisi Sempati yang hanya hidup berdua dengan ibunya.

Berto berkesimpulan, kadang-kadang akan muncul keputusan di luar nalar kita ketika orang tua tidak mampu memberikan segalanya kepada anaknya. Salah satunya dengan membiarkan bagian tubuhnya diubah menjadi jam tangan. Berto senang karena, betapapun sulitnya, ia tetap menyelesaikan novel ini sebab di bagian akhir, ketika semua tokoh telah diceritakan, ia akhirnya dapat menemukan benang merah dari novel ini.

Selanjutnya, Gerson menyampaikan hasil pembacaannya. Setelah membaca novel ini, ia menyempatkan diri membaca review-review pembaca sebelumnya di internet. Beberapa pembaca menyampaikan pendapat yang sama, penulis memulai kisah dengan sesuatu yang absurd. Setiap bab bergerak dengan ceritanya masing-masing, sulit sekali menemukan keterkaitannya dengan bab sebelumnya. Tidak ada titik temu. Gerson menambahkan, selama membaca novel ini, ia selalu menyertakan kamus Bahasa Indonesia di samping agar bisa memahami kata-kata baru yang belum pernah ia temukan sebelumnya. “Saya bersyukur karena ternyata melalui buku ini, perbendaharaan kata saya bertambah banyak,” ungkapnya.

Gerson juga merasa bahwa  di setiap buku yang ia baca selalu tersimpan pesan yang ingin disampaikan penulisnya. Hal itu juga ditemukannya dalam Cara Berbahagia Tanpa Kepala.

“Kadang-kadang manusia memang mempunyai banyak sekali masalah. Ketika manusia berusaha menemukan solusi untuk menyelesaikannya, tak jarang kita justru memilih sesuatu yang keliru dan buruk, yang juga merusak diri kita sendiri. Oleh karena itu, sebisa mungkin sebagai manusia, kita harus memikirkan dengan tenang sebelum memutuskan melakukan sesuatu di dalam hidup ini sehingga di kemudian hari kita tidak menyesali keputusan kita. Seperti Sempati yang memutuskan memotong kepalanya,” tutup Gerson. (Bagian selanjutnya tentang pesan moral dalam novel ini).[nextpage title=”Pesan Moral dan Kisah Sedih?”]

Setelah Gerson, ada Hermin yang mengaku sulit sekali menikmati novel ini di kali pertama. Tetapi kemudian ia terus membacanya dan menemukan, ada banyak pesan moral yang ia dapatkan dari buku ini.

Pertama, ia paham jika Sempati ingin memisahkan kepala dari tubuhnya karena sebagai manusia, sesekali kepala kita menginginkan hal yang berbeda dari tubuh kita. “Semacam ada pertentangan, dan kita tidak bisa melakukan apa-apa dengan itu,” kata Hermin.

Kedua, dari novel ini Triska sedang berusaha menjelaskan kepada pembaca bahwa, hidup adalah sebuah siklus dari apa yang telah kita lakukan sebelumnya (hukum tabur-tuai). Seperti Merpati yang berusaha menebus kesalahannya di masa lalu dengan menjadi M4 yang memotong kepala Sempati (memutuskan kenangan buruknya di masa lalu), atau Semanggi yang memilih bertransformasi menjadi jam tangan agar tetap dekat dengan anaknya. Semuanya sia-sia sebab sedari awal sebagai orang tua mereka telah gagal mendidik dan membesarkan Sempati menjadi anak yang bahagia. “Novel ini memang rumit sekali. Saya membayangkan orang yang bosan hidup tetapi masih tetap harus bertahan hidup,” tuturnya.

Senada dengan Hermin, Dokter Ronald yang mendapat giliran selanjutnya menyampaikan bahwa Cara Berbahagia Tanpa Kepala sebenarnya adalah kisah sedih sebuah keluarga: anak yang terlahir dari keluarga yang tidak harmonis (Sempati) akan membawa luka yang besar, sehingga saat ia tumbuh dewasa, bukan kehidupan layak yang ia cita-citakan melainkan sibuk mencari apa yang tidak pernah ia dapatkan sejak kecil dari kedua orang tuanya. “Maka dari itu, segala sesuatu yang ia (Sempati) hadapi di duna ini terlihat seperti beban yang besar. Melepas kepala barangkali bisa menjadi solusi, seperti yang Sempati lakukan,” papar pendiri Yayasan Klub Buku Petra ini.

Sementara itu ketika ditanya pendapatnya tentang struktur penulisan novel ini yang tidak berterima untuk kebanyakan pembaca, Dokter Ronald mengaku bahwa ia pun mengalami kesulitan. Novel ini mengingatkannya pada Srimenanti karya Joko Pinurbo: kalimat-kalimatnya indah dan enak sekali untuk dibaca, tetapi seperti tidak ada kisahnya. Namun demikian, karena telah dimulai dengan sesuatu yang absurd, hidup tanpa kepala, ia pun berpikir bahwa tidak perlu usaha yang terlalu keras untuk memahami novel ini. “Baca saja sampai selesai, nanti juga dengan sendirinya kita paham, penulis sebenarnya mau omong apa,” jelas Dokter Ronald.

Febhy dan Rio adalah dua peserta selanjutnya yang tidak banyak menyampaikan kesan karena belum sempat menyelesaikan keseluruhan novel ini. Febhy mengakui ini bukan novel yang mudah dibaca cepat apalagi sembari mengerjakan hal yang lain. Novel ini juga mengingatkan ia pada kesulitannya mengakses Semua Ikan di Langit karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie. Demikian pula dengan Rio yang berusaha menyelesaikan lima puluh halaman terakhir malam itu, sebelum mendapatkan giliran berbicara.

Keduanya menarik kesimpulan yang sama dari proses membaca yang tersendat tersebut, novel ini mengingatkan kita bahwa, sebanyak apa pun yang kita miliki, belum tentu itu bisa menyelesaikan masalah yang ada di kepala kita. Barangkali sebagaimana hal klise yang sering kita dengarkan, hanya waktu yang mampu menjawab kegelisahan-kegelisahan dalam hidup ini.

Saya mendapat giliran setelah Rio. Tidak ada ekspektasi apa pun ketika memulai membaca Cara Berbahagia Tanpa Kepala. Setelah membacanya—dengan segenap usaha agar sampai selesai—saya kemudian melihat novel kedua Triskaidekaman ini sebagai teks awal yang mesti diproses kurang lebih dua kali untuk selanjutnya sampai pada makna yang sebenarnya atau sebagaimana penuturan Berto dan Gerson, Hermin, dan juga Dokter Ronald, memahami pesan yang ingin disampaikan penulis kemudian menginterpretasikannya sesuai dengan pengalaman hidup kita masing-masing.

Bicara tentang perkembangan tokoh, saya tidak sependapat dengan Dokter Ronald. Bagi saya, melihat Sempati yang seperti itu, terjebak dengan masa lalu yang rumit, sangat menjengkelkan. Sementara, ia sebenarnya memiliki kesempatan untuk pergi meninggalkan Darnal, meninggalkan rumah yang menurutnya seperti rahim tetapi sesungguhnya hanya membuatnya tersiksa dengan kenangan-kenangan mengerikan. Triska juga mengadaptasi sebagian kisah Sangkuriang ke beberapa bagian novel ini. Saat Sempati tergolek di ranjang Merpati, mengenang ibunya hingga masturbasi, dan ketika Sempati sadar bahwa ia jatuh cinta pada M4 (yang sebenarnya adalah Merpati). (Bagian selanjutnya tentang parateks dan apakah ini kisah yang menarik?

[nextpage title=”Masuk Akalkah Novel Ini? Parateks?”]

Setelah saya, Armin Bell menyampaikan hasil pembacaannya. Bagi Armin, semua cerita itu sebenarnya realis, tergantung dari kacamata mana dulu kita melihatnya. Ia mengaku tidak tertarik dengan novel ini sebab di bagian awal sudah tidak rasional. “Kepalanya sudah dicopot tetapi kemudian masih bisa mengamati hal-hal dan membuat keputusan untuk bertindak? Sekalipun ada kandar kilas atau apa pun itu namanya yang berfungsi menyimpan data dan sebagainya, tetap saja bagaimana itu bisa terlihat masuk akal? Ketika bagian itu sudah gagal saya terima, saya tidak teruskan (membacanya),” tutur Armin.

Armin melanjutkan, novel-novel seperti ini baik apabila menjadi referensi, khususnya bagi para penulis yang ingin belajar mengembangkan teknik kepenulisan. Buku-buku seperti ini bisa jadi sengaja diterbitkan dengan pertimbangan bahwa ada sekian banyak cara bertutur, dan setiap pembaca wajib mengenal beragam cara tersebut. Namun demikian, novel dengan kisah seperti ini tidak disarankan untuk mereka yang menjadikan aktivitas membaca sebagai sesuatu yang menyenangkan atau sekedar mengisi waktu, termasuk mereka yang adalah pembaca pemula.

“Saya pikir, Triskaidekaman memang diciptakan untuk menulis sesuatu yang hanya ditujukan untuk orang-orang tertentu. Bukan untuk pembaca umum. Dan sejauh pengalaman membaca selama ini—termasuk novel-novel terjemahan, saya tidak banyak bertemu kisah dan teknik penceritaan yang seperti ini,” tutup Armin.

Parateks

Marcelus Ungkang hadir malam itu dan mendapatkan kesempatan terakhir untuk berbicara. Celus memulainya penjelasannya dengan mengambil potongan kisah dari halaman 1-11. Menurut pengamatannya, 11 halaman tersebut lebih kepada mensimulasikan kondisi daripada menceritakan.

Aliran kesadaran manusia terbiasa mensimulasikan apa yang terjadi di kepala ketika menemukan pembicaraan yang sulit untuk pahami. “Di benak manusia, segala sesuatu itu campur aduk. Random. Kadang muncul yang ini, lalu tiba-tiba sudah memikirkan hal yang lain, kemudian muncul yang itu. Semuanya tidak saling berhubungan. Triskaidekaman menuliskan apa yang sebenarnya sedang muncul di benak kita. Ia tidak sedang menceritakannya, melainkan mensimulasikan itu. Teknik ini dimulai dulu sekali oleh James Joyce,” Jelas Selus.

Persoalan kisah dalam novel ini sebenarnya adalah penafsiran. Ada alat bantu, bukan untuk mengerti kisah dalam novel ini tetapi untuk memahami apa yang terjadi pada diri kita ketika membacanya. Jadi kita tidak akan membicarakan teks novel ini, tetapi bagaimana kita mencari cara untuk membacanya. Ada yang namanya parateks. Semacam gerbang. Jika dibagi lagi secara spasial, ada yang namanya periteks (bentuknya: tulisan yang membahas tentang karya tertentu dan bisa menjadi rujukan untuk memahami karya tersebut) dan epiteks (bentuknya: testimoni pembaca pertama, atau gambaran umum tentang karya yang biasanya kita temukan di halaman depan buku atau sampul bagian belakang).

Pada novel Cara Berbahagia Tanpa Kepala, kita dapat menemukan epiteksnya pada sampul belakang buku. Kira-kira demikian gerbang yang sengaja dihadapkan kepada kita untuk bisa masuk ke dalam cerita. Halaman 1-11 yang dimaksudkan sebelumnya adalah simulasi dari epiteks ini sehingga ketika menjadi karya, ia tidak menceritakannya, melainkan mensimulasikan kebingungan kita yang terpecah-pecah itu.

“Bagian Alfa di halaman depan novel ini juga bisa dilihat sebagai epiteks (panduan membaca). Kita bisa mengakses cerita dengan lebih mudah jika mengikuti cara tersebut. Jika coba kita kaitkan dengan cerita, lima titik Alfa ini bisa kita pahami sebagai; sebuah awal bisa lebih dari satu, yang akan berakhir pada satu Omega,” ungkap Dosen di Unika St. Paulus Ruteng ini.

Malam itu, Marcelus Ungkang juga menyinggung tentang karya-karya pascamodern. Cara Berbahagia Tanpa Kepala merupakan salah satu yang masuk di dalamnya.

“Situasi menjadi pelik ketika kita berhadapan dengan fiksi-fiksi pascamodern. Di Indonesia sendiri, diskusi tentang pascamodern masih berkutat di sekitaran pemikiran atau filsafat, belum sampai ke ranah sastra/fiksi. Setelah sekian tahun, orang menjadi skeptis karena sepertinya percakapan tentang ini tidak berkembang ke mana-mana atau segala hal pelik ini bisa dikatakan sebagai pascamodern? Ia digambarkan seperti anak kecil yang membongkar mainan, setelah terpisah-pisah, ia kemudian tidak tahu bagaimana cara menggabungkannya lagi,” tutur Celus.

Ia melanjutkan, “Ketika belakangan ini kemudian muncul fiksi-fiksi pascamodern, pembentukan epiteksnya (gerbang untuk masuk ke dalam karya-karya tersebut) tidak begitu baik. Penciptaan gerbang untuk publik, gagal total. Akses terhadap teks-teks menjadi sedikit. Analoginya seperti kita menonton televisi, kadang siarannya banyak tetapi karena kita hanya memiliki antena lama yang hanya bisa menangkap satu saluran maka kita hanya bisa menonton siaran yang itu-itu saja. Maka dari itu, pembicaraan-pembicaraan tentang teori dan sebagainya dalam kaitan dengan karya pascamodern (periteks), diskusi-diskusinya hampir tidak ada. Sedikit sekali ulasan-ulasan atau kajian-kajian tentang pascamodern yang sebenarnya dapat menjadi gerbang untuk memasuki karya-karya sastra/fiksinya. Beda dengan karya-karya modern yang dengan gampangnya kita temui, bahkan masuk ke dalam kurikulum (sinopsis, unsur intrinsik dan ekstrinsik, dan sebagainya) sehingga kita kemudian menjadi sangat familiar dengan gaya penulisan modern.”

Penjelasan Marcelus Ungkang ini kemudian ditanggapi oleh Armin Bell. Ia membahas betapa pentingnya peran periteks dan epiteks ini untuk membantu kita lebih memahami karya sastra/fiksi.

“Dunia kritik sastra Indonesia seharusnya lebih serius membicarakan jembatan penghubung ini. Teks-teks sastra yang sulit akan lebih mudah diakses oleh banyak orang tetapi tidak juga oleh sangat banyak orang. Hal ini juga seharusnya menjadi masukan penting bagi penerbit seperti Gramedia yang terus memproduksi karya-karya fiksi seperti Cara Berbahagia Tanpa Kepala atau Semua Ikan di Langit. Jika ingin mendapatkan lebih banyak pembaca, sebaiknya Gramedia juga lebih tekun mendorong hadirnya perbincangan-perbincangan atau menerbitkan referensi-referensi yang bisa membantu pembaca agar lebih mudah mengakses novel-novel tersebut,” tutup Armin.

Cara Berbahagia Tanpa Kepala diberi bintang 2,5 oleh para peserta yang hadir malam itu.

Buku selanjutnya yang telah dibahas di Bincang Buku XVIII, adalah novelet karya Sabda Armandio, Dekat dan Nyaring. Notulennya akan terbit bulan depan di Bacapetra.co. Sementara Bincang Buku XIX akan berlangsung pada akhir bulan ini, tepatnya di tanggal 30 Juli 2020 di Toto Kopi, Ruteng. Sampai jumpa(*)


Baca juga:
– Puisi-Puisi Triskaidekaman – Gaudeamus Igitur
– Afrizal Malna: Apa yang Bergerak di Dekat Kita?

Komentar Anda?