Menu
Menu

Kesadaran teori mungkin mengambil porsi yang cukup besar dalam proses kreatif penulis “Wesel Pos”.


Oleh: Maria Pankratia |

Bergiat di Yayasan Klub Buku Petra, mengelola Pustaka Bergerak dan agenda bulanan Bincang Buku Klub Buku Petra. Cerpen-cerpennya disiarkan di Bali Post, Jurnal Sastra Santarang, Pos Kupang, dan beberapa antologi bersama.


Setelah setahun lebih tidak dilaksanakan, Bincang Buku Klub Buku Petra, kegiatan yang dimulai pada bulan Juni 2013 akhirnya kembali dengan tampilan yang lebih segar.

Pada tampilannya yang baru, kegiatan menyenangkan ini terbuka bagi siapa saja yang ingin ambil bagian. Tentu saja sangat menyenangkan, ketika beberapa orang berkumpul dan membahas hal menarik—kisah dari buku yang telah dibaca—bersama-sama. Masing-masing tak ingin ketinggalan menyampaikan pengalaman membacanya.

Bertempat di LG Corner Ruteng, tanggal 9 Februari 2019 mulai pukul 19.00 Wita, dua belas peserta hadir membagikan pengalaman maupun gagasan menarik tentang Wesel Pos, sebuah novelet yang ditulis oleh Ratih Kumala. Wesel Pos dipilih sebagai pembuka, selain karena jumlah halamannya yang tidak terlalu menguras waktu baca, hanya 100 halaman, juga alur ceritanya yang mengalir dan mudah dipahami.

Tentang “Wesel Pos” karya Ratih Kumala

Pada mulanya, semua berpendapat bahwa novel ini terlampau sederhana dan terkesan persis dengan kisah-kisah sinetron atau FTV yang sering hilir mudik di televisi komersil Indonesia. Namun, Marcelus Ungkang selaku Pemantik Diskusi memberikan pernyataan di luar dugaan pada awal kegiatan.

Kesan umum yang mungkin didapatkan setelah membaca ‘wesel pos’ adalah cerita yang sederhana. Namun, bagaimana menjelaskan istilah ‘sederhana’ itu sendiri bisa jadi merupakan pekerjaan yang serius,” tutur Dosen STKIP St. Paulus Ruteng ini.

baca wesel pos pahami aturan mainnya

| Marcelus Ungkang memaparkan struktur mikro pada “Wesel Pos” | Foto: Kaka Ited


Wesel Pos berkisah tentang seorang gadis, Elisa namanya. Elisa memutuskan berangkat ke Jakarta mencari kakak laki-laki sulungnya setelah ibunya meninggal dunia. Bagi seorang gadis polos yang tumbuh besar di Purwodadi, ke Jakarta dengan hanya bermodalkan alamat kantor sang kakak pada selembar kertas wesel pos yang selalu diterima setiap bulannya adalah sebuah pertaruhan yang besar.

Baru beberapa jam menginjakkan kaki di salah satu terminal di Jakarta, Elisa sudah mengalami kesialan pertama. Seorang Ibu yang sangat baik hati menjajakan kopi sachet dengan bonus nasihat ‘berhati-hatilah’, justru membawa kabur tas beserta seluruh isinya, harta terakhir yang ia bawa dari kampung halaman: pakaian, kartu identitas, sebuah hape (bukan smartphone), dan duit seratus lima puluh ribu rupiah.

Elisa kemudian melaporkan ke pos polisi terdekat yang malah menganjurkannya untuk mengiklhaskan saja kehilangan sepele seperti itu. Di sini, emosi pembaca benar-benar diobrak-abrik. Akan tetapi ini belum seberapa.

Sang polisi yang akhirnya jatuh iba, merelakan waktunya untuk mengantar Elisa ke alamat kantor sang kakak sebagaimana tertera pada kertas wesel pos lusuh, yang syukurnya masih tersimpan di saku jaket jeans Elisa dan selalu mengikutinya ke mana saja, termasuk ketika Elisa menitipkan tas pakaiannya pada si ibu penjual kopi sachet karena harus permisi membuang hajat ke toilet umum di terminal. Dari sini, perjuangan Elisa menemukan keberadaan kakaknya dimulai.

Oleh satpam gedung tempat di mana alamat kantor kakak Elisa berada, Elisa akhirnya dipertemukan dengan Fahri, sahabat kakaknya. Fahri adalah salah satu tokoh penting dalam novel ini, yang membuat keberadaan wesel pos sebagai media yang mengisahkan cerita ini menjadi sangat relevan.

Di zaman yang serba digital ini, aplikasi pengiriman seperti wesel pos tentu saja sudah sangat ketinggalan zaman. Tetapi Ratih Kumala dengan terampil mengemas cerita sehingga wesel pos malah menjadi media penting yang membiarkan cerita ini tetap mengalir dan eksis. Ratih bahkan menjadikan secarik kertas bukti pengiriman uang melalui jasa pos ini sebagai narator di beberapa bagian cerita. Situasi ini sempat membikin bingung beberapa pembaca di awal cerita. Demikian kesan kawan-kawan yang hadir pada Bincang Buku Klub Buku Petra.

Mengingat artikel ini tidak dimaksudkan menuturkan keseluruhan isi buku Wesel Pos, maka bagian ini penulis cukupkan di sini saja. Mari ke bagian selanjutnya.[nextpage title=”Wesel Pos dan Paradigma Syd Field”]Bagi Marcelus Ungkang, membaca Wesel Pos membuatnya teringat pada model Syd Field yang lazim digunakan dalam naskah film.

paradigma syd field pahami aturan mainnya pada bincang buku wesel pos

| Gambar 1: Paradigma Syd Field


Struktur Mikro Bagian Setup

Bagian setup merupakan yang paling krusial dalam penulisan cerita. Jika bagian ini tidak meyakinkan, besar kemungkinan pembaca tidak meneruskan untuk membaca. Namun, jika ditelaah, bagian setup ini tersusun dari sejumlah komponen–yang bisa disebut struktur mikro.

Mengapa Anda membaca novel ini sampai selesai? Pertanyaan itu, dapat dijawab, salah satunya, dengan memahami fungsi setup. Bagian ini merupakan bagian krusial karena pada bagian ini seorang penulis harus membuat pembaca peduli (care) dengan tokoh. Syukur jika pembaca sekaligus peduli dan cinta (love).

Ada beberapa cara untuk membuat pembaca peduli atau berempati dengan tokoh. Cara yang lazim digunakan, sebagaimana juga dipakai dalam Wesel Pos, yaitu losing dan injustice (bandingkan dengan tokoh Srintil dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk.)

Perhatikan tabel berikut ini:

pahami aturan mainnya baru bisa sakti tabel losing and justice

| Gambar 2: Tabel Losing & Injustice


Premis Dramatik

Pada bagian setup ini juga, penulis harus membuat premis dramatik. Premis dramatik secara sederhana adalah menginformasikan novel ini ceritanya tentang apa. Pada bagian awal novel, pembaca bisa langsung tahu ceritanya tentang apa: Elisa berusaha mencari kakak laki-lakinya di Jakarta dengan bermodal alamat kantor kakaknya yang tertera di wesel pos.

Goal/Tujuan

Pada bagian setup ini juga harus tergambar apa yang hendak dicapai oleh tokoh utama. Cerita kemudian menjadi menarik karena dalam upaya tokoh mencapai tujuan atau keinginannya, ia dihadapkan pada bermacam rintangan.

Inciting Incidents

Setelah Elisa sampai di alamat kantor kakaknya yang tertera di wesel pos, ternyata kakaknya sudah dua tahun tidak bekerja di sana. Elisa bingung harus ke mana. Ia akhirnya menginap di tempat Fahri. Konstruksi tersebut, dalam struktur plot, disebut inciting incident. Sang tokoh terpaksa melakukan sesuatu dan membuat ia berpindah memasuki lingkungan baru.

Plot Point

Plot point merupakan jembatan antara bagian setup dengan konfrontasi. Pada akhir bagian lima, Elisa, yang secara tidak sengaja membuka laci lemari plastik di tempat Fahri, akhirnya menemukan surat-surat dan kopian wesel. Pada bagian enam, akhirnya Elisa tahu bahwa kakaknya sudah meninggal. Konstruksi inilah yang disebut dengan plot point: ada peristiwa yang membuat cerita bergerak ke arah baru.

Catatan Tambahan

Penggunaan simbol wesel pos dan dipadukan dengan karakterisasi Elisa berfungsi untuk menciptakan kontras dengan lingkungan sosial Jakarta. Kota yang maju  dan keras dikontraskan dengan wesel pos dan pribadi yang old school. Hal tersebut berkontribusi terhadap pembentukkan konflik secara keseluruhan.

Pengalaman Membaca

Hampir semua peserta yang hadir di bincang buku pada malam minggu, 2 Februari 2019, mengaku kecewa dengan akhir dari kisah Wesel Pos.

Jeril, sebagai peserta yang memberikan komentar pertama, mengaku sempat membanting buku tersebut ketika sudah menyelesaikan halaman akhir. Febry, yang menyampaikan pengalamannya beberapa saat setelah Jeril, menyayangkan akhir yang menyedihkan tersebut: “Kenapa mereka tidak kabur pulang kampung saja? Kan Elisa ada rumah peninggalan ibunya di Purwodadi. Daripada tinggal di Jakarta dan berakhir seperti itu?”

Ya, begitulah akhir dari kisah Wesel Pos. Keberadaan kakak laki-laki Elisa yang ternyata tinggal nama dan kematian Fahri sebagai salah satu tokoh utama di akhir cerita, meninggalkan kesan yang mendalam. Klimaks yang sebenarnya tidak diharapkan ini seakan mengamini barisan sinopsis pada halaman belakang buku. Ada dua jenis orang yang hidup di Jakarta. Pertama adalah orang yang sakti, mereka adalah orang yang akan bertahan hidup sebab ‘ilmu’ mereka sudah tinggi. Kedua adalah orang sakit, yang akan mati ditelan kekalahan di kota ini.

Sementara komentar berbeda datang dari Armin Bell. Bagi Armin keseluruhan buku ini sedikit mengecewakan sebab lagi-lagi, ketika sebuah cerita mengisahkan tentang masyarakat miskin atau orang-orang terpinggirkan, penulis pada umumnya belum bisa keluar dari kecenderungan untuk menasihati pembaca.

Armin mencoba membandingkannya dengan “Ketika Lampu Berwarna Merah” oleh Hamsad Rangkuti yang juga mengisahkan tokoh dengan latar belakang kurang lebih sama. Pada novel Hamsad Rangkuti, kecenderungan tersebut tidak nampak atau mungkin saja terbaca dengan pemahaman yang lain. Cerita mengalir begitu saja, memaparkan situasi dan kondisi yang dihadapi tokoh. Dalam hal ini, pembaca tentu saja luput dari keinginan penulis yang kadang tidak disadari sedang menggurui para penikmat ceritanya.

Pada beberapa bagian, Ratih terlihat ragu untuk mengembangkan cerita yang sesungguhnya memiliki potensi jauh lebih menarik, hal ini dikarenakan kesadaran teori yang mungkin mengambil porsi cukup besar dalam proses kreatif menuliskan Wesel Pos. Pendapat ini disampaikan oleh Marcelus Ungkang.

Sebagai dosen sastra, Marcelus yang hadir malam itu selaku pemantik diskusi menutup diskusi dengan membagikan pengalamannya. Salah satu masalah yang ia hadapi selaku pengajar sastra adalah memilih bacaan yang sesuai dengan karakteristik mahasiswa. Pada umumnya, minat baca karya sastra dari para mahasiswa kurang menggembirakan. Untuk itu, ia perlu memilih bacaan awal yang relatif mudah dipahami; novel Wesel Pos akan dianjurkan.

Saran yang sama juga akan disampaikan kepada teman-teman yang menekuni proses kreatif menulis prosa fiksi atau drama. Kadang, proses autodidak membuat seorang pengarang, secara kompetensi, bisa dikategorikan berada pada level intermediate. Namun, untuk naik ke level advanced, ia justru perlu kembali lagi mempelajari teknik-teknik dasar (yang sering disebut teknik sederhana) seperti yang telah berhasil dilakukan oleh Ratih Kumala dalam noveletnya itu. Mengutip Picasso, pelajari aturannya, selayaknya profesional sehingga anda bisa melanggarnya sebagai seorang seniman.

Pada akhir Bincang Buku Klub Buku Petra, para peserta: Febriany Djenadut, Margareth Febhy Irene, Melanie Cici Ndiwa, Andrew Natal, Armin Bell, dr. Ronald Susilo, Yoan Lambo, Jeril Ngalong, Daeng Irman, Kaka Ited, dan crew LG Corner Cafe menyematkan tiga bintang untuk Wesel Pos.

Novelet Ratih Kumala ini telah memberikan pengalaman membaca dan diskusi yang menarik bagi para peserta. Bincang Buku Edisi kedua pada 28 Februari 2019 akan membahas karya Mahfud Ikhwan, “Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu”. (*)

Komentar Anda?