Menu
Menu

Jika ingin berkarya, kita harus kuat dari dalam terlebih dahulu. Hubungan baik antaranggota juga mesti terus ditumbuhkan, sehingga pada akhirnya komunitas yang sudah dibangun tidak hanya menyisakan nama di kemudian hari.


Oleh: Djho Izmail |

Penulis. Blogger. Bergiat di Komunitas Sastra Rakyat Ende (SARE) dan Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Saat ini menetap di Ndori demi menjalani tugas sebagai Abdi Negara. Tulisan Djho lainnya bisa dibaca di: www.pangeranrajawawo.blogspot.com.


Jalanan lengang. Tak banyak kendaraan atau pejalan kaki yang hilir mudik.

Mungkin, orang-orang masih menikmati paskah dengan jalan sunyi. Menutup diri dalam rumah bersama keluarga. Atau, ada sebagian lain yang sedang mengalkulasi kerugian materi setelah pemilihan umum beberapa hari lalu, sambil menakar cemas. Jagoannya bisa melenggang ke gedung dewan atau tidak? Entahlah.

Namun, itulah wajah kota Ende sore itu. Saya tergesa menuju sudut kota. Sebuah kampung bernama Onekore. Sore itu akan dilaksanakan kelas menulis, kegiatan yang digagas Forum Taman Bacaan Masyarakat Kota Ende dan Klub Buku Petra Ruteng.

Kegiatan akan berlangsung di Taman Baca Anak Merdeka, Onekore. Saya tau kegiatan tersebut melalui sebuah flyer yang saya temukan di laman media sosial beberapa hari lalu, ketika sedang berlibur.

Tidak terlalu sulit mencari alamat yang dituju, sebab saya telah dikirimkan lokasi kegiatan oleh penyelenggara via Google Map. Dengan mengucapkan selamat sore yang lantang saya masuk ke dalam ruangan. Beberapa pasang mata menatap datar kehadiran saya. Mungkin karena penampilan saya yang hanya mengenakan sandal jepit, celana pendek, juga tampang urakan yang bisa bikin kesal warga sekampung. Mereka barangkali menduga saya baru datang dari antah berantah.

Dalam perjalanan saya berpikir bahwa kegiatan keren ini akan dihadiri oleh banyak orang. Apalagi berhubungan dengan literasi—sesuatu yang tengah marak dilaksanakan pemerintah maupun juga para pegiatnya saat ini. Sangkaan tersebut ternyata keliru. Hanya ada beberapa orang duduk berjajar sambil menunggu kegiatan dimulai.

Pukul 16.36, Mario sebagai Tuan Rumah dan Inisiator acara, membuka kegiatan. “Walaupun yang hadir di sini tidak banyak, itu tidak masalah. Kita mulai dari komunitas yang kecil dulu. Lebih diutamakan kualitasnya dari pada kuantitasnya,” ujar Mario, sekaligus menyemangati kami.

Selanjutnya kesempatan sepenuhnya diberikan kepada Maria Pankratia. Narasumber pada kegiatan hari itu. Kak Maria adalah seorang penulis, pegiat literasi, yang saat ini bergiat di sebuah yayasan bernama Klub Buku Petra. Di Ruteng.

Sebelum memaparkan materi, Kak Maria mempersilahkan kami memperkenalkan diri; menyebut nama dan komunitas tempat kami bergabung. Ada Mbak Iin dari Rumah Baca Mustika, Rianti, Sari, dan Nadia dari Komunitas Ende Berbagi, Mila Lolong dan Evelyn Sare, juga saya sendiri dari Komunitas Sastra Rakyat Ende (SARE). Hadir juga Mario Gesiradja dan Don Djago dari Buku Bagi NTT Regional Ende.

Perkenalan singkat itu membuat suasana lebih cair. Kami mulai tak canggung satu sama lain. Ada tiga materi yang kami bahas bersama sore itu.

Materi pertama adalah Komunitas. Menurut Kak Maria ada beberapa fenomena menarik belakangan ini yang mendasari terbentuknya sebuah komunitas:

(1) ketergesaan melaksanakan kegiatan yang “hanya menyenangkan diri/komunitas itu sendiri” tanpa memikirkan dampak yang bisa diberikan kepada orang di luar komunitas;

(2) merasa telah ikut berkontribusi (berkarya) menyelesaikan persoalan, akan tetapi tidak memiliki cukup alat ukur untuk menilai dampak kontribusi komunitas terhadap lingkungan sekitar;

(3) ketergantungan pada pihak lain (sumber dana dan kontribusi lain) yang besar; (4)

mudah putus asa karena merasa pekerjaannya tidak dihargai; serta

(5) adanya ‘semangat baru’ untuk mengerjakan hal-hal yang sebenarnya sudah pernah dikerjakan oleh orang lain.

Di sela materi tentang komunitas, beberapa peserta saling melirik dengan senyum penuh arti. Kak Maria sedikit mengernyitkan dahi. Penasaran, ia kemudian bertanya kepada para peserta. Rupanya, apa yang dijelaskan itu, “kena telak” dalam pengalaman berkomunitas mereka.

“Apa yang kakak jelaskan tadi sepertinya terjadi dalam komunitas kami,” cerita Mbak Iin tentang sebuah Forum Komunitas yang pernah dibentuk di Ende. Adanya ketidakjelasan visi dan misi membuat satu per satu mengundurkan diri dalam diam. Dari grup WhatsApp, maupun dari kegiatan bersama yang telah direncanakan.

Kak Maria lalu mencoba menawarkan beberapa solusi. “Beberapa hal penting yang sebaiknya perlu diperhatikan dalam berkomunitas antara lain, adanya dasar yang kuat, termasuk visi dan misi ketika awal membentuk sebuah komunitas. Kemampuan anggotanya dalam memahami tujuan berkomunitas juga penting dan wajib untuk dipersiapkan sebelum kita tampil ke hadapan masyarakat.”

“Kita harus kuat dari dalam terlebih dahulu, baru memikirkan mau buat apa untuk orang banyak. Hubungan baik antaranggota juga mesti terus ditumbuhkan, sehingga pada akhirnya komunitas yang sudah dibangun tidak hanya menyisakan nama di kemudian hari,” jelasnya.

Materi kedua adalah Menulis dengan Peka. Menurut Kak Maria untuk bisa menulis, kita harus banyak membaca dan menjadi peka terhadap keadaan sekitar kita.

“Salah satu cara yang bisa kita lakukan untuk menggali ide dan gagasan dalam hal menulis adalah dengan mengasah kepekaan melalui observasi alam sekitar, atau melalui media visual seperti foto dan video. Hal-hal yang mestinya dilakukan seperti membaca, menonton film, berdiskusi, observasi, dan jalan-jalan menjadi stimulus kita untuk peka terhadap kejadian-kejadian di sekitar kita,” kata Maria.

Kami menyimaknya dengan saksama. Dilanjutkan dengan berbagi pengalaman menulis masing-masing. Kak Maria berusaha menggali potensi setiap peserta yang hadir melalui diskusi yang menarik sehingga semua tampak antusias menyampaikan perkembangan kepenulisannya. Juga kendala yang sering dihadapi.

Sebagian besar mengakui bahwa memulai sebuah tulisan adalah hal yang mudah. Tetapi menyelesaikannya, hingga akhirnya layak dibaca orang lain, menjadi pekerjaan yang teramat sulit.

[nextpage title=”Berkarya itu Baik”]
Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam. Mario selaku tuan rumah menawarkan untuk istirahat sejenak sambil menikmati kudapan yang telah disediakan. Ada sambal teri disanding ubi dan pisang rebus. Tanpa sungkan, semua mengambil piring masing-masing dan mulai menikmatinya. Orang Ende bilang, penganan lokal malam itu hure sekali.

Komitmen adalah Kunci

Pada bagian akhir, Kak Maria berusaha menjawab permintaan teman-teman tentang bagaimana membuat tulisan bersama (antologi) dalam komunitas. Kak Maria menceritakan awal mulanya hingga Kelas Menulis dan Berbagi tersebut dilaksanakan.

Kawan-kawan yang hadir, termasuk saya, sudah pernah membaca sebuah buku antologi bersama yang dikerjakan oleh kawan-kawan di Komunitas KAHE Maumere. Judul bukunya: Tsunami! Tsunami! Kak Maria adalah salah satu penulis yang karyanya ada dalam antologi tersebut. Keinginan untuk menghasilkan karya bersama inilah yang akhirnya mendatangkan Kak Maria untuk berbagi bersama kawan-kawan tentang proses pengerjaannya.

Sebagaimana berkomunitas, menurutnya menulis antologi bersama juga bukanlah pekerjaan yang mudah. Komitmen adalah kunci yang harus dipegang. Setiap anggota harus memiliki kesamaan visi dan misi terlebih dahulu tentang tema apa yang hendak dikerjakan.

Karena ini adalah penciptaan bersama, maka sebisa mungkin karya yang dihasilkan adalah bentuk kepedulian yang memberikan dampak baik. Juga menginspirasi orang lain. Minimal orang-orang terdekat dahulu. Setelah sudah tahu “mau tulis apa” barulah dilanjutkan dengan proses teknis yang terbilang rumit tetapi sebenarnya sangat menyenangkan. Banyak hal yang bisa dipelajari bersama.

Proses teknis tersebut dimulai dengan pengumpulan karya, dilanjutkan dengan proses kurasi oleh tim/individu yang sudah ditentukan—yang tentu saja memiliki kemampuan untuk menilai mana tulisan yang layak dan tidak layak untuk diterbitkan, lalu tulisan-tulisan tersebut diteruskan kepada editor. Editor bertugas membaca ulang naskah (dan merevisi isi bila diperlukan) sebelum tulisan dinyatakan siap cetak.

Jika editor telah selesai menyunting isi, tugas selanjutnya adalah pembacaan ulang keseluruhan atau proofreading. Biasanya tugas ini diberikan kepada orang yang memiliki kemampuan ketelitian yang cukup baik, sehingga tulisan dapat terhindar dari kesalahan penulisan yang kadang selalu dianggap hal sepele oleh pihak tertentu. Jika proofreading telah selesai maka tulisan dinyatakan siap cetak. Silakan memilih percetakan yang sesuai dengan pendanaan komunitas.

Jika tidak ingin repot memikirkan segala proses di atas, komunitas dapat mencari penerbit yang menyediakan paket lengkap dari editor, proofreader, lay outer hingga designer sampul buku yang sesuai dengan keinginan serta budget yang telah disiapkan.

“Nah, bicara tentang pendanaan serta urusan administrasi terkait penyusunan antologi bersama ini, seluruh anggota komunitas harus melewati rapat serius untuk menentukan kebutuhan serta siapa yang bertanggung jawab atas setiap kebutuhan tersebut,” jelas Kak Maria.

“Bagian yang juga tidak boleh dilupakan adalah, bagaimana nasib tulisan setelah dicetak menjadi buku? Apakah buku tersebut ingin dijual kepada khalayak umum atau dibagikan di dalam komunitas saja? Jika dibagikan, setiap anggota komunitas akan mendapat jatah berapa buku? Harus ada kesepakatan hitam di atas putih tentang itu. Kemudian, jika buku sepakat ingin dilempar kepada publik, bagaimana metode penjualannya (marketing) sehingga dana yang telah dikeluarkan tidak menjadi sia-sia.” lanjutnya.


berkarya itu baik tetapi menyiapkan diri lebih penting

| Peserta Kelas Menulis di Taman Baca Anak Merdeka, Onekore


Cukup lama kami terdiam menyimak penjelasan itu. Ternyata membuat buku bukanlah proses yang mudah. Kami belajar banyak hal malam itu. Di akhir kegiatan, kami sepakat untuk memulai dengan menulis dahulu apa yang ingin kami tuliskan, lalu membagikannya kepada kawan-kawan di dalam komunitas untuk dibaca.

Pekerjaan saling membaca karya satu sama lain ini, sekaligus membantu kami untuk belajar bersama demi menciptkan karya yang baik dan layak dibaca di kemudian hari. Sebelum akhirnya nanti kami berkarya, menyusun sebuah antologi bersama dari Ende.

Kami mengakhiri kegiatan hari itu dengan membuat gambar bersama dan berharap ada kelas-kelas selanjutnya yang bisa menjaga semangat kami tetap menyala. Saya memohon diri kepada kawan-kawan untuk beranjak pergi lebih dahulu sebab ada pertemuan lain yang juga harus saya hadiri.

Terima kasih Kak Maria dari Klub Buku Petra Ruteng. Terima kasih Forum Taman Bacaan Masyarakat Kabupaten Ende yang telah berinisiatif melaksanakan kegiatan ini. Sampai jumpa pada kegiatan-kegiatan keren lainnya. (*)

Komentar Anda?