Menu
Menu

Kisah-kisah dalam Antologi Cerpen ODGJ Nadus dan Tujuh Belas Pasung menceritakan penyebab. Tetapi bagaimana setelah mereka akhirnya sembuh? 


Oleh: Maria Pankratia |

Notulis.


Bincang Buku Petra ke-22 berlangsung pada hari Minggu, 25 Oktober 2020 di Biara Bruder Karitas, Bangka Leda, Ruteng, membahas Antologi Cerpen ODGJ Nadus dan Tujuh Belas Pasung, buku pertama yang diterbitkan oleh Yayasan Klub Buku Petra bekerja sama dengan Yayasan Karya Bakti Ruteng melalui Penerbit Dusun Flobamora. Antologi ini mengusung tema yang sangat spesifik, Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Sebelas peserta mengikuti diskusi: Bruder Honorius Suryadi selaku tuan rumah dan bertindak sebagai pemantik, Bruder Agus, dr. Ronald Susilo, Hermin Patrisia, Tomi Hikmat, Retha Janu, Gerson Djehamun, Rini Kurniati, Gregorius Reynaldo, Armin Bell, dan saya sendiri.

Bruder Honor membuka diskusi dengan menyampaikan kesannya atas pembacaan antologi ini.

“Saya senang ketika membaca cerpen-cerpen di dalam antologi ini, selain menemukan penyebab-penyebab orang dengan gangguan jiwa yang dikisahkan para penulis dengan sangat realistis, saya juga jadi tahu beberapa kebiasaan atau ritual orang NTT yang selama ini tidak pernah saya dengar atau baca. Karakter tokoh-tokohnya juga sangat khas, nama-nama mereka seperti nama-nama orang Flores pada umumnya menggunakan nama-nama orang kudus,” ungkapnya.

Selain itu, Bruder Honor juga mengulas satu hal menarik dari cerpen “Gina” karangan Robertus Viktor Ara. Menurut Bruder yang berasal dari Jogjakarta dan lama menetap di Lampung ini, kebiasaan membakar lilin di makam atau tempat pertama kali orang menghembuskan nafas terakhir, baru ia temukan setelah menetap di Manggarai. Ternyata kebiasaan itu telah berlaku sejak dahulu kala di kalangan masyarakat Nusa Tenggara Timur sebagai bentuk penghormatan terakhir sekaligus melepaspergikan orang yang telah meninggal dunia.

Selanjutnya Dokter Ronald menyampaikan hasil pembacaannya. Banyak hal yang disoroti oleh Dokter Ronald. Hampir semua cerpen yang terdapat di dalam antologi ini ia bahas. Mulai dari masalah psikologis anak usia sekolah dasar yang terdapat di dalam cerpen “Membeli Ibu” karya Anacy Tnunay, waham kebesaran yang diderita oleh Nadus dalam cerpen “Nadus dan Sembilan Roh yang Merasukinya” karya Marto Rian Lesit, kemampuan mengolah gejala penderita gangguan jiwa ke dalam bahasa sastra yang mengagumkan oleh Christian Dadi melalui cerpennya “Seru Serangga Dalam Diriku”.

Cerpen “Penemu” karya Saverinus Suhardin juga dikomentari. Menurut Dokter Ronald, kisah kocak yang dibumbui istilah-istilah medis, menjadi kelebihan dari cerpen ini. Lalu cerpen “Orang Gila Berisik Sekali” karya Yuf Fernandez yang tidak banyak membahas orang dengan gangguan jiwa, akan tetapi secara teknis menulis sangat baik, cerpen “Laki-Laki yang Melihat UFO” karya Alex Pandang dan cerpen “Burung di Dalam Kepala dan Cara Tertawa yang Keparat” karya Harris Meo Ligo yang memperkaya antologi cerpen ini.

Selain itu, ada cerpen Siti Hajar berjudul “Bisopo”, yang menurut Dokter Ronald menggambarkan budaya orang-orang NTT yang buruk, yaitu menakuti anak-anak dengan sosok tertentu. Budaya ketakutan ini sesungguhnya diciptakan oleh orang-orang terdekat dan membekas menjadi trauma. Lalu ada cerpen “Dua Kutub” karya Danya Banase, yang secara tidak langsung membuat kita paham bahwa penyebab gangguan jiwa paling sering datang dari keluarga yang berantakan, dan pelecehan seksual oleh orang-orang terdekta seperti keluarga ataua tetangga.

Kemudian ada Afryantho Keyn dengan cerpennya berjudul “Laki-Laki yang Mati Diam-Diam”, yang menyoroti penderita gangguan jiwa setelah kembali dari bekerja di luar negeri. Menurut Dokter Ronald, dari cerpen ini kita bisa melihat kisah para pekerja imigran gelap yang mengalami berbagai tekanan; “Yang selama ini tidak pernah menjadi perhatian kita, mereka yang berangkat ke luar negeri dengan ketiadaan keterampilan, kemampuan bahasa di bawah rata-rata, dokumen yang tidak lengkap, harus pulang dengan kondisi yang mengenaskan. Jika tidak mati, yah gangguan jiwa.”

Sebagai salah satu juri yang terlibat dalam proses penentuan sepuluh cerpen yang dibukukan bersama tujuh cerpen penulis undangan ini, Dokter Ronald menyampaikan kegusarannya tentang kemampuan para penulis NTT dalam mengeksplorasi tema dan kondisi masyarakat di sekitarnya.

| Tentang Lomba Cerpen Bertema ODGJ, dapat dibaca di tautan ini.

“Bagi saya, cerpen-cerpen di dalam antologi ini sebagian besar dikerjakan dengan terburu-buru. Ini terjadi karena kita berangkat dari budaya yang tidak terbiasa menulis. Kita menulis tunggu ada lomba, atau mau bikin antologi dulu,” tutup Dokter Ronald.

Berikutnya, ada Rini Kurniati. Setelah sekian lama tidak bergabung di Bincang Buku Petra, Rini akhirnya muncul lagi. Bagi Rini, cerita-cerita di dalam Nadus dan Tujuh Belas Pasung memberikan gambaran bagaimana menderitanya seseorang dengan gangguan jiwa. Dan di dalam penderitaan itu, keluarga juga mesti terlibat menghadapinya dengan sepenuh hati. Tiga cerpen yang sangat ia sukai di dalam antologi ini adalah, “Nadus dan Sembilan Roh yang Merasukinya”, “Penemu”, dan “Pasung”.

Cerpen “Pasung”, bagi Rini, menyoroti kontribusi adat kita yang turut jadi penyebab seseorang terkena gangguan jiwa. Rini merasa prihatin atas kejadian yang menimpa Sia, sang tokoh di dalam cerpen ini. “Kealpaan dalam melakukan kewajiban adat istiadat, membuat masyarakat sekitar merasa leluasa untuk menilai Sia berdasarkan kekeliruannya. Tidak ada rasa peka atau solidaritas antar sesama manusia ketika melihat sesamanya yang menderita,” pungkas Rini.

Setelah Rini, Gerson menyampaikan hasil pembacaannya. Sebagai yang pernah mengenyam pendidikan di Seminari dan mengalami proses kreatif bersama, Gerson merasa sangat dekat dengan cerpen yang ditulis oleh Defri Ngo, “Pasung”. Sama seperti Rini, menurut Gerson, apa yang ditulis oleh Defri adalah sebenar-benarnya realita yang kita alami di tengah masyarakat kita tentang bagaimana adat istiadat (dianggap) dapat menyebabkan seseorang terkena gangguan jiwa: “Karena sebagaimana dalam tradisi dan kepercayaan kita, apabila kita tidak melakukan kewajiban, maka ada saja akibat yang akan datang menimpa kita.”

Baca bagian selanjutnya tentang kritik-kritik dalam Nadus dan Tujuh Belas Pasung

[nextpage title=”Ada Banyak Kritik dalam Nadus dan Tujuh Belas Pasung”]

Retha Janu mendapatkan giliran selanjutnya. Bagi Retha sendiri, sudah layak sepuluh cerpen ini terpilih untuk diterbitkan dalam Antologi ini. Terkait tema orang dengan gangguan jiwa, Retha memiliki sudut pandang baru.

“Ternyata bukan hanya faktor tekanan dalam keluarga dan masyarakat yang menyebabkan seseorang bisa mengalami gangguan jiwa, melainkan juga hal-hal seperti masalah sosial ekonomi, peran adat-istiadat dalam menentukan pilihan hidup seseorang, dan lain sebagainya. Hal tersebut dapat kita temukan dalam cerpen “Nadus dan Sembilan Roh yang Merasukinya”. Ada kisah sejarah yang coba diangkat di sana, kritik pembangunan, kupon putih, dan kritik terhadap gereja,” tutur Retha.

Retha juga menanggapi tentang rencana penerjemahan yang disampaikan Dokter Ronald saat peluncuran Antologi ini bulan September yang lalu. Menurut Retha, hal tersebut perlu dilakukan agar dunia luar tahu tentang fenomena ODGJ di Nusa Tenggara Timur: “Bahwa sebagian besar kasus orang dengan gangguan jiwa, selalu dianggap sebagai akibat dari ketidaktaatan terhadap adat dan istiadat, dan hingga kini belum bisa kita buktikan apakah tesis tersebut benar atau sesungguhnya mengada-ada.”

Setelah Retha, Hermin menyampaikan hasil pembacaannya. Hermin sehari-hari bekerja dan berhadapan langsung dengan ODGJ di Klinik Rehabilitasi Jiwa Renceng Mose. Menurutnya, kisah-kisah dalam antologi ini dia temukan dalam pergumuannya sehari-hari. “Ada hal-hal yang tidak diketahui masyarakat umum bahwa terkadang bagi sebagian orang, hal-hal yang sebenarnya dianggap sepele, sesungguhnya bisa memicu orang lain hingga akhirnya terkena gangguan jiwa. Putus cinta dan ditinggal nikah misalnya. Tidak jarang, masalah seperti itu justru menjadi bahan olokan. Ironis sekali,” tutur Hermin.

Dari pengalaman hidup bersama dengan orang-orang gangguan jiwa ini, Hermin menyampaikan:

“Saya kah jadi berpikir jangan-jangan, orang-orang yang dianggap gila ini, adalah sebenarnya mereka yang berusaha menjadi dirinya sendiri. Mereka hidup dan melakukan apa yang mereka inginkan. Sebaliknya, orang-orang yang selama ini merasa dirinya normal, macam kita ini, yang hidup dalam tekanan dan kemunafikan, selalu berusaha menjadi seperti yang diharapkan orang lain. Barangkali seharusnya kita mulai refleksi sudah, bisa jadi kita sebenarnya orang dengan gangguan jiwa. Seperti yang saya temukan dalam cerpen “Antara Hujan dan Air Mata” karya Riko Raden, cerpen ini mengisahkan tentang orang-orang yang gigih memperjuangkan hidup. Kita semua adalah orang dengan gangguan jiwa, hanya saja gejala dan tingkatannya mungkin berbeda-beda, seperti Lori dalam cerpen “Membeli Ibu”. Ketika dia merasa sudah tidak bisa apa-apa lagi, dia akhirnya punya ide untuk membeli ibu baru dari temannya,” tutup Hermin.

Selanjutnya ada Gregorius Reynaldo yang menikmati antologi ini sembari berusaha menjaga jarak demi menghindari ekspektasi-ekspektasi tertentu. “Saya menikmati sebaik mungkin semua cerita, semakin terus membaca, saya kemudian bertanya-tanya, apakah saya harus depresi dulu untuk bisa masuk ke dalam cerita-cerita ini karena masing-masing kisa berputar dengan segala macam unsur di dalamnya,” ungkap Rey.

Rey kemudian menyampaikan kesan pembacaannya terhadap cerpen, “Nian Ina Ema Bulakan” oleh Yanti Mesakh. “Saya suka konflik yang ada di dalam cerita ini. Bagaimana keluarga Natha berpindah dari dukun yang satu ke dukun yang lain hingga Natha sendiri akhirnya sadar dan bertanya-tanya, kenapa kita tidak membawa ibu ke rumah sakit saja? Ekspektasi saya mulai terbentuk ketika Natha mempertanyakan hal tersebut, akan tetapi sampai selesai saya membacanya, saya hanya menemukan khotbah yang panjang tanpa ada perlawanan lain yang cukup berarti atau penyelesaian dari konflik yang saya temukan di awal,” komentarnya. Menurut Rey, penulis seperti ingin menyudahi cerita dengan cepat melalui bentuk kepasrahan seperti itu.

“Atau memang sebenarnya di bawah sadar kita telah terbentuk sejak lama bahwa sesungguhnya kita memang belum memiliki pilihan-pilihan perlawanan itu? Akses ke rumah sakit atau pusat rehabilitasi yang jauh, biaya yang sangat mahal, sehingga kita selalu berakhir dengan ketiadaan jalan keluar dan sebaiknya puas dengan mensyukuri apa yang ada. Cerpen-cerpen di dalam antologi ini berkisah dengan cukup baik dan reflektif,” tutup Rey.

Tomy Hikmat yang membaca antologi ini sebanyak dua kali, mendapatkan kesempatan berikutnya untuk menyampaikan hasil pembacaannya. Tomy yang pernah mengikuti pelatihan Inklusivitas untuk Disabilitas, di dalamnya termasuk tunagrahita (orang dengan kelainan mental), mencoba melihat kesamaan dari orang dengan gangguan mental dan orang dengan gangguan jiwa yang dibahas di dalam antologi ini. Menurutnya, tiga metode pendekatan yang terus dikembangkan dalam menangani kelompok disabilitas sejauh ini adalah, pendekatan karitatif, pendekatan medis, dan pendekatan sosial. Tomi kemudian membahas pendekatan yang ketiga, pendekatan sosial.

“Pendekatan ini mengharuskan kita untuk melihat penderita atau pasien bukan sebagai orang yang berbeda dari manusia kebanyakan (yang merasa dirinya waras). Mereka sama seperti kita. Semua manusia rentan, hanya mungkin saja gejalanya tidak nampak atau kita belum sadar, atau juga karena kita tidak diperlakukan sebagai orang dengan gangguan jiwa oleh orang-orang di sekitar kita. Sudut pandang kita sebenarnya yang menentukan seseorang itu dianggap gila atau tidak,” tutur Tomy.

[nextpage title=”Isu ODGJ; Setelah Lomba Cerpen, Kita Bagaimana?”]

Siang itu, hadir juga Armin Bell, yang juga merupakan kurator dari Lomba Cerpen Bertema ODGJ.

Armin menyampaikan kesan pembacaannya setelah Tomi Hikmat dan mengawalinya dengan komentar tentang ‘agak seragam’nya cerpen-cerpen dalam antologi Nadus dan Tujuh Belas Pasung.

“Cerita yang dikirim oleh para penulis (peserta lomba) pada proses seleksi, terkesan sama dan panitia sempat kecewa karena sejujurnya mengharapkan ada eksplorasi lebih oleh para penulis. Tetapi kemudian disadari bahwa mungkin hanya itu yang penulis-penulis kita ketahui tentang orang dengan gangguan jiwa. Cerpen “Seru Serangga Dalam Diriku” adalah cerpen yang cukup baik secara teknik dan eksplorasi, akan tetapi tidak ada muatan lokalitas di dalamnya,” kata Armin.

Menurutnya, ada banyak harapan ketika lomba dimulai. Salah satunya adalah agar melalui proyek menulis seperti ini ada isu-isu yang sejauh ini belum mendapatkan perhatian kita dimunculkan. Tetapi ternyata tidak cukup terjawab. “Cerita-cerita yang masuk tidak menampilkan hal-hal itu. Sebagian besar menulis ulang bagian-bagian yang juga dipahami oleh banyak orang. Dewan Juri mungkin kebingungan ketika menemukan tema cerita yang hampir mirip satu sama lain, tetapi beruntung karena gaya bercerita yang variatif membuat kumpulan cerpen ini lebih berwarna dan enak untuk dibaca,” tambahnya.

*

Demikian keseruan Bincang Buku Antologi Cerpen ODGJ – Nadus dan Tujuh Belas Pasung. Bincang Buku ke-23 telah berlangsung pada akhir November kemarin, membahas novel Faisal Oddang, Tiba Sebelum Berangkat. Nantikan notulennya di Bacapetra.co.

Untuk menutup tahun 2020, Bincang Buku Petra ke-24 akan dilaksanakan pada 17 Desember 2020, mendiskusikan Cerpen Pilihan Kompas 2019: Mereka Mengeja Larangan Mengemis. Sampai jumpa! (*)


Baca juga:
Origin: Robert Langdong Berlari Lagi
Bagaimana Pandemi Mengubahmu Menjadi Gregor Samsa

Komentar Anda?